Ngeri Perang Saudara Tetangga RI: Jet Wara-wiri, Siswa Masuk Bunker
Jakarta, CNBC Indonesia - Perang saudara antara junta Myanmar dan penentangnya makin menggila. Dilaporkan bagaimana jet-jet tempur wara-wiri di negeri itu membuat para siswa ketakutan dan bersembunyi di bunker-bunker.
Salah satunya adalah Phyo Phyo, 18 tahun. Sebelum masuk ke dalam bunker yang merupakan ruang kelas, ia berdoa memohon belas kasih dan keselamatan baginya, teman dan guru, meskipun realisasinya tidak akan dikabulkan.
"Semoga jet tempur tidak datang. Semoga para pilot menunjukkan kebaikan kepada kami. Semoga bom tidak meledak," katanya mengenang keinginannya yang tak terucapkan saat memandang kehancuran di hadapannya.
Mengutip AFP, ia terdaftar di kelas yang beranggotakan sekitar 12 orang di "akademi bawah tanah". Kelas itu memang merupakan bunker, yang didirikan pada bulan Juni setelah serangan junta militer meluluhlantakkan sekolah di dekatnya dan menewaskan sedikitnya 20 murid dan dua guru.
"Masa-masa sekolah kami dulu bebas dan penuh kesenangan," kata Phyo Phyo, lagi menggunakan nama samaran untuk alasan keamanan.
"Sejak serangan udara dimulai, kami kehilangan kebahagiaan," tambahnya.
"Para siswa menjadi pendiam."
Wilayah yang Phyo Phyo tinggal memang dikuasai "pemberontak". Wilayah ini sekitar 110 kilometer (70 mil) di utara kota Mandalay, tempat jet-jet junta militer menjelajahi langit.
Phyo Phyo dan teman-teman sekelasnya belajar di ruang kelas bawah tanah mereka yang lembap dan gelap namun relatif aman. Ruang kelas itu dibangun di hutan dengan sumbangan dan menyerupai sel penjara bergaya Spartan.
"Kami menginginkan pendidikan, apa pun rintangannya," kata Phyo Phyo.
Sejak kudeta tahun 2021 yang memicu perang saudara, junta militer Myanmar telah meningkatkan serangan udara setiap tahun. Ini dilakukan demi membasmi faksi-faksi gerilya yang menentang pemerintahan junta.
Bencana seperti banjir dan angin kencang pada musim hujan Mei hingga September biasanya memberikan jeda. Namun, menurut organisasi Data Lokasi & Peristiwa Konflik Bersenjata (ACLED), data parsial dari musim hujan tahun ini menunjukkan militer melakukan lebih dari 1.000 serangan udara dan pesawat tanpa awak (drone), menewaskan lebih dari 800 orang.
Saat ini, junta melancarkan kampanye untuk merebut kembali wilayah menjelang pemilu yang katanya akan dimulai pada 28 Desember. Namun, para pemberontak telah berjanji untuk memblokir pemungutan suara di daerah kantong mereka, dan para analis menggambarkan pemungutan suara tersebut sebagai taktik untuk menyamarkan kelanjutan pemerintahan militer.
Di sisi lain, ketakutan juga meliputi para petani, di wilayah Sagaing. Mereka mengatakan ancaman itu nyata.
"Kami memindahkan sawah di malam hari agar kami bisa fokus bersembunyi di siang hari," kata seorang petani yang tidak disebutkan namanya.
Pada siang hari, di kota Thabeikkyin di wilayah Mandalay tengah, para pemberontak mengawasi langit dan menggunakan walkie-talkie yang berderak untuk menyampaikan lokasi terakhir jet junta yang diketahui. Ini menjadi sebuah sistem peringatan serangan udara darurat.
Thwat Lat membunyikan sirene hingga 15 kali sehari, menyuarakan peringatan paling mendesak melalui mikrofon merah muda dan emas yang terhubung ke sistem pengeras suara yang dapat didengar dari jarak delapan kilometer. Hal ini membuat penduduk berlarian ke bunker.
Serangan Udara
Militer memang sering menggunakan jet-jet tempur yang dipasok China dan Rusia ke pemberontak yang tidak memiliki armada udara maupun pertahanan anti-udara sendiri. Alasannya karena serangan udara membuat milisi-milisi makin terjepit.
"Karena mereka merasa kelompok bersenjata revolusioner kami memiliki kekuatan untuk menjatuhkan mereka," kata anggota Pemerintah Persatuan Nasional yang dideklarasikan gerakan demokrasi di wilayah Sagaing utara yang dikuasai pemberontak, Zaw Tun.
"Mereka tidak bisa memenangkan pertempuran darat, tetapi mereka punya kekuatan untuk menyerang kami dengan serangan udara," ujarnya.
Setiap minggu, selalu ada laporan warga sipil terbunuh dalam pengeboman yang menelan korban massal. Seringkali ini terjadi di sekolah atau biara yang ditempati anak-anak atau biksu, dan terkadang juga melindungi orang-orang yang telah mengungsi akibat pertempuran.
"Militer sengaja menargetkan massa karena mereka ingin memicu ketakutan," kata analis ACLED Asia-Pasifik, Su Mon Thant.
"Ketika orang-orang merasa lebih tidak pasti dengan hidup mereka dan putus asa, mereka tidak ingin mendukung gerakan perlawanan," ujarnya.
Meskipun tidak ada angka kematian resmi akibat perang Myanmar dan perkiraannya sangat bervariasi, ACLED melaporkan lebih dari 85.000 orang telah tewas di semua pihak. Dari jumlah tersebut, hampir 3.400 adalah warga sipil yang tewas di tangan pasukan negara dalam serangan udara atau pesawat tak berawak yang ditargetkan.
Meski demikian, media pemerintah junta selalu menggambarkan laporan korban sipil sebagai "informasi palsu". Mereka mengatakan informasi disebarkan oleh "media jahat".
(sef/sef)