
Prancis Krisis! Defisit-Utang Mau Meledak, Kini Macron di Tepi Jurang

Jakarta, CNBC Indonesia - Prancis kembali memasuki babak baru krisis politik usai pengunduran diri Sébastien Lecornu sebagai Perdana Menteri (PM). Ini terjadi hanya 27 hari setelah ia dilantik dan hanya beberapa belas jam setelah kabinet baru disahkan.
Dalam suasana tegang politik yang terus memuncak, Presiden Emmanuel Macron menghadapi dilema berat. Apakah ia akan menunjuk PM baru, membubarkan parlemen, atau menanggung beban politik yang makin tidak stabil?
Ya, di Prancis, Presiden memang memiliki andil besar sebagai kepala negara, pengatur kebijakan luar negeri dan pemegang kendali militer. Namun PM akan bertugas mengurusi dalam negeri.
Pengunduran diri Lecornu mengejutkan banyak pihak. Mantan menteri pertahanan yang juga sekutu dekat Macron itu mundur sebelum sempat memaparkan agenda pemerintahannya.
Lecornu menyatakan bahwa ia "tidak mampu memimpin pemerintahan minoritas" ketika partai-partai lain menolak kompromi soal anggaran dan kebijakan. Ia menambahkan "setiap partai politik berperilaku seolah-olah mereka memiliki mayoritas di parlemen" dan bahwa "persyaratan untuk tetap menjabat tidak terpenuhi".
Lecornu sendiri menjadi PM ketiga yang gagal menjalankan pemerintahan setelah Michel Barnier dan François Bayrou. Dalam dua tahun terakhir, ia menjadi PM keenam yang mundur.
Persoalan klasik memang melanda Prancis, yakni kesulitan merumuskan kesepakatan anggaran, terutama soal pemotongan belanja dan kenaikan pajak. Saat ini defisit anggaran Prancis pada 2024 mencapai 5,8% dari PDB, lebih besar dibanding batas Uni Eropa (UE), belum lagi utang yang menumpuk, 113% dari PDB.
Akar Masalah?
Langkah Macron membubarkan parlemen tahun lalu, dengan harapan menciptakan kejelasan politik, justru memperdalam fragmentasi parlemen. Pemilu pasca-pembubaran menghasilkan parlemen yang sangat terpecah antara kubu kanan dan kiri serta mempersulit pembentukan mayoritas yang stabil.
Macron lantas mengandalkan loyalis untuk memimpin pemerintahan minoritas. Namun mereka rentan terhadap mosi tidak percaya.
Kini Macron berada di persimpangan sulit. Ia bisa saja menunjuk PM baru, keenam dalam dua tahun terakhir.
Namun, memilih sosok dari luar lingkaran loyalis bisa membuka ketegangan internal. Macron selama ini enggan melepas kendali pemerintahan pada kubu kanan-kiri yang berbeda keyakinan politiknya.
Alternatif lain adalah pembubaran parlemen dan pemilihan parlemen baru. Tapi ini memiliki resiko yang tinggi.
Di Tepi Jurang?
Di Prancis saat ini, partai oposisi sayap kanan, National Rally (NR), pimpinan Marine Le Pen tengah memimpin dalam jajak pendapat (32%). Sementara koalisi sayap kiri, New Popular Front (NFP), meraih 25%.
Jika pemilu baru diadakan, National Rally bisa menjadi dominan. Macron sendiri berasal dari Partai La République En Marche, partai Prancis yang berhaluan tengah dan liberalis.
Analisis profesor Ilmu Politik di INSEAD, Douglas Yates, menegaskan bahwa Macron sangat kecil kemungkinan mengundurkan diri. Menurut Yates, langkah paling realistis adalah tetap mempertahankan kekuasaan melalui pergantian PM.
"Terlalu berbahaya baginya untuk melakukan hal yang benar dan tentu saja dia tidak mau mundur dari kekuasaan," ujarnya, seperti dikutip CNBC International.
"Satu hal yang bisa saya katakan dengan yakin hari ini adalah Macron tidak akan mengumumkan pengunduran dirinya sendiri ... Jika PM baru tidak bertahan lama, ia bisa menunjuk perdana menteri lain," tambahnya.
Yates juga menilai Macron tak akan memilih pemilu baru, karena pengalaman terakhirnya berakibat buruk. Pemilu baru hanya akan kemungkinan akan mengulangi polarisasi antara pemilih kiri dan kanan.
"Orang-orang akan meninggalkan partainya dan memilih dengan sepenuh hati, baik kiri maupun kanan," kata Yates.
Ada spekulasi bahwa Macron mungkin memilih sosok perdana menteri dari Partai Sosialis (kiri-tengah) untuk manuver taktis. Namun kemungkinan memilih kandidat dari France Unbowed (kiri ekstrem) atau National Rally (kanan ekstrem) dianggap sangat kecil, mengingat keduanya telah menyerukan agar Macron dicopot.
Yates menyoroti bahwa Macron selama ini "telah memilih orang yang salah" dengan tetap mengutamakan figur dari kubu tengah, sehingga memperuncing ketegangan kiri-kanan. Ia memprediksi Macron akan mencoba mencari "masukan segar kepada kubu kiri-tengah" yang bisa meredam konflik politik, seperti sosok dari Partai Sosialis atau bahkan Partai Hijau.
Pemerintah Bisa Jatuh Total?
Sementara itu, urusan anggaran negara semakin mendesak. Anggaran untuk 2026 belum disahkan dan beberapa ekonom memperkirakan Prancis akan beroperasi dalam kerangka sementara dengan menggunakan undang-undang khusus, di mana pengeluaran mendekati anggaran 2025 dan defisit sekitar 5,0-5,4% dari PDB.
Yacine Rouimi dari Deutsche Bank menyebut bahwa bila pemerintah jatuh total, skenario "pemerintah interim" seperti itu sangat mungkin terjadi. Di sisi lain, Salomon Fiedler, ekonom di Berenberg Bank, memperingatkan bahwa penunjukan PM dari sayap kiri atau kanan dapat memicu pembalikan reformasi struktural, termasuk pembatalan kebijakan pro-pertumbuhan seperti peningkatan usia pensiun, sekaligus membuka risiko penyimpangan fiskal.
(tfa/șef)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Geger Mulut Macron 'Diteplak' Istri di Pesawat, Prancis Buka Suara
