
Fakta 2 Tahun Perang Gaza: Genosida, Kelaparan, dan Hidup yang Runtuh

Jakarta, CNBC Indonesia - Selama dua tahun terakhir, sejak serangan 7 Oktober 2023 oleh Israel, Jalur Gaza berubah menjadi pusat kehancuran akibat genosida berkepanjangan. Apa yang awalnya berupa serangan udara kini menjelma menjadi operasi militer sistematis yang menargetkan kehidupan warga sipil, infrastruktur vital, dan masa depan seluruh populasi.
Kini, lebih dari 67.000 warga Palestina dilaporkan tewas dan hampir 170.000 lainnya terluka, di mana mayoritas merupakan perempuan dan anak-anak. Ribuan korban masih tertimbun di bawah reruntuhan, tak tersentuh oleh tim penyelamat.
Berikut fakta-fakta terkait genosida yang terjadi di Gaza, seperti dihimpun CNBC Indonesia pada Selasa (7/10/2025).
Runtuhnya Sistem Kesehatan
Kementerian Kesehatan Palestina menegaskan bahwa dampak perang di Gaza tak bisa diukur hanya dengan angka korban. Sistem layanan medis di wilayah itu kini berada di titik kolaps total. Dari 36 rumah sakit yang sebelumnya beroperasi, 34 diantaranya telah hancur sebagian atau seluruhnya.
Melansir media WAFA, lebih dari 400 serangan tercatat menargetkan fasilitas kesehatan, termasuk rumah sakit, klinik, tenaga medis, dan ambulans. Sekitar 150 unit ambulans juga dilaporkan rusak berat atau musnah.
Petugas medis bekerja dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Mereka bekerja tanpa pasokan listrik, obat bius, maupun peralatan dasar yang memadai. Beberapa rumah sakit yang masih beroperasi sebagian, seperti Al-Shifa, Al-Ahli Baptist, dan Nasser, kini menampung pasien jauh di atas kapasitas normal.
Kelaparan Dijadikan Senjata Perang
Israel dituding menjadikan kelaparan sebagai alat perang terhadap warga sipil Gaza. Pada Agustus 2024, Integrated Food Security Phase Classification (IPC) yang dikoordinasikan PBB mengkonfirmasi terjadinya wabah kelaparan di wilayah tersebut.
Lebih dari 500.000 warga Palestina kini berada pada Fase 5, level tertinggi dalam skala kerawanan pangan yang menandakan kelaparan ekstrem, malnutrisi akut, dan tingginya angka kematian. Sekitar 1,07 juta orang lainnya menghadapi kondisi darurat (Fase 4), sementara 400.000 warga berada dalam krisis pangan (Fase 3).
Sejak Oktober 2023, sedikitnya 459 orang, termasuk 154 anak, tewas akibat kelaparan dan kekurangan gizi. Meski ratusan truk bantuan menumpuk di perbatasan, otoritas Israel terus membatasi bahkan memblokir akses masuknya ke Gaza.
Pengepungan yang diperketat sejak 2 Maret 2025 menutup seluruh jalur penyeberangan dan menghambat pengiriman bantuan kemanusiaan. Lembaga-lembaga PBB menilai pasokan yang berhasil masuk tidak sebanding dengan kebutuhan jutaan orang, menggambarkannya sebagai "setetes air di lautan penderitaan."
Pengungsian Massal dan Pengusiran Paksa
Lebih dari 1,9 juta warga Palestina, atau sekitar 80% populasi Gaza, kini hidup dalam pengungsian. Banyak di antara mereka terpaksa berpindah tempat berkali-kali selama dua tahun terakhir. Data UNRWA mencatat hampir setiap keluarga di Gaza telah mengalami pengungsian setidaknya satu kali sejak awal perang.
Gelombang terbesar terjadi pada Maret 2025, ketika serangan militer besar-besaran memaksa lebih dari 1,2 juta orang meninggalkan Kota Gaza hanya dalam hitungan hari. Beberapa bulan kemudian, pada Juli 2025, pemerintah Israel menyetujui rencana pendudukan bertahap atas seluruh wilayah Gaza, dimulai dari bagian utara.
Menurut data OCHA, sekitar 88% wilayah Gaza, setara dengan 317 kilometer persegi, kini berada di bawah perintah evakuasi. Banyak kawasan telah benar-benar kosong dari penduduk. Dalam rentang 20-27 September 2025, ribuan orang, termasuk anak-anak, lansia, dan penyandang disabilitas, harus berjalan kaki berjam-jam demi mencari tempat aman.
Banyak keluarga menjual harta terakhir mereka untuk membayar ongkos transportasi, sementara yang lain menempuh perjalanan tanpa bekal makanan atau air. Di Gaza utara, lebih dari 70 tempat penampungan terpaksa ditutup karena kepadatan, kerusakan, atau minimnya pasokan bantuan. Akibatnya, puluhan ribu pengungsi kini tidur di ruang terbuka, tanpa perlindungan dari cuaca ekstrem.
Bencana Lingkungan dan Ancaman Lintas Generasi
Selain krisis kemanusiaan yang tengah berlangsung, Gaza kini menghadapi bencana lingkungan yang dampaknya meluas dan akan terasa selama puluhan tahun. Laporan Program Lingkungan PBB (UNEP) pada September 2025 memperingatkan bahwa kerusakan ekosistem di wilayah itu membutuhkan waktu sangat lama untuk dipulihkan.
Akses terhadap air bersih nyaris tidak ada, sistem pembuangan limbah telah kolaps, sementara akuifer dan perairan pesisir mengalami pencemaran berat. UNEP mencatat, 97% pohon, 95% rumah kaca, dan 82% tanaman musiman di Gaza hancur, membuat produksi pangan lokal praktis lumpuh.
Kerusakan juga melanda infrastruktur perkotaan: dari sekitar 250.000 bangunan, sekitar 78% rusak atau hancur total, menghasilkan lebih dari 61 juta ton puing, di mana sekitar 15% diantaranya diduga tercemar asbes, bahan kimia, dan logam berat.
Kombinasi polusi udara, air, dan tanah menciptakan ancaman jangka panjang bagi kesehatan masyarakat, terutama anak-anak, dan meninggalkan jejak kehancuran ekologis yang akan diwariskan ke generasi mendatang.
Penghancuran Sistematis Dunia Pendidikan
Sektor pendidikan di Gaza turut menjadi korban kehancuran. Data Kementerian Pendidikan mencatat, lebih dari 179 sekolah negeri hancur total, sementara lebih dari 100 sekolah UNRWA mengalami kerusakan berat atau tidak lagi bisa digunakan. Selain itu, 20 institusi pendidikan tinggi dilaporkan rusak parah dan lebih dari 60 gedung universitas rata dengan tanah akibat serangan.
Sejak perang dimulai, lebih dari 18.000 siswa sekolah dan 1.300 mahasiswa tewas, serta lebih dari 1.000 guru gugur dan hampir 5.000 tenaga pendidik terluka. Kondisi ini membuat sekitar 630.000 siswa kehilangan akses terhadap pendidikan. Sejumlah sekolah bahkan telah dihapus sepenuhnya dari daftar resmi lembaga pendidikan.
Meski berada dalam kondisi ekstrim, Kementerian Pendidikan tetap berupaya mempertahankan kegiatan belajar. Ujian kelulusan SMA secara elektronik berhasil diselenggarakan bagi 27.000 siswa kelahiran 2006, dan kini tengah disiapkan untuk angkatan 2007. Berbagai inisiatif pembelajaran daring dan berbasis komunitas juga digagas untuk menjaga keberlanjutan pendidikan bagi generasi muda Gaza.
(tfa/tfa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Negara NATO Ini Tak Sudi Terima Kapal Israel, Tolak Pesawat Melintas
