
Dokumen Rahasia Bocor, Rusia Diam-Diam Siapkan China Invasi Taiwan

Jakarta, CNBC Indonesia - Sebuah laporan terbaru memicu kekhawatiran baru terkait stabilitas di Selat Taiwan, setelah terungkap bahwa Rusia telah memasok perlengkapan militer sekaligus memberikan pelatihan kepada militer China dalam operasi infiltrasi udara.
Temuan itu dipublikasikan oleh think tank Inggris Royal United Services Institute (RUSI), yang merilis dokumen perjanjian tahun 2023 antara Moskow dan Beijing.
Berdasarkan korespondensi dan kontrak yang diperoleh kelompok peretas Black Moon, Rusia menyetujui untuk mengirimkan rangkaian senjata serta peralatan perbaikan platform buatan Rusia kepada China. Paket itu termasuk kendaraan amfibi ringan, meriam swagerak anti-tank, serta pengangkut personel lapis baja.
Tak berhenti di situ, Rusia juga berkomitmen memberikan "siklus penuh pelatihan" kepada satu batalion pasukan lintas udara China.
RUSI menilai langkah ini signifikan, mengingat meskipun kemampuan militer China berkembang pesat, Beijing tidak memiliki pengalaman tempur besar selama lebih dari empat dekade. Sebaliknya, Rusia memiliki pengalaman langsung dari pertempuran di Ukraina sejak invasi dimulai lebih dari tiga tahun lalu.
Menurut analis, infiltrasi lintas udara akan memperluas opsi serangan China dengan melewati pantai Taiwan yang terbatas, sudah dikenal luas, dan dipenuhi pertahanan kuat.
Bryce Barros, analis keamanan dari GLOBSEC, mengatakan kerja sama ini mengindikasikan Beijing mempertimbangkan cara untuk dengan cepat menargetkan kepemimpinan di ibu kota Taiwan.
"PLA (Tentara Pembebasan Rakyat) bisa saja mengerahkan pasukan khusus lintas udara untuk merebut infrastruktur penting, seperti Bandara Taoyuan dan Songshan di kawasan metropolitan Taipei, serta lokasi perkotaan lain seperti stadion baseball dan lapangan sekolah," ujar Barros kepada Newsweek, dilansir Rabu (1/10/2025).
Ia menambahkan bahwa Taiwan sudah menyadari risiko tersebut dan telah memasukkan skenario serupa dalam latihan militer sebelumnya.
"Taiwan harus terus menggelar latihan mempertahankan bandara dan kawasan urban datar, memastikan pelatihan Rusia ini tidak memberi keuntungan bagi PLA," katanya.
Di sisi lain, kekhawatiran Washington terhadap rencana China atas Taiwan makin kuat. Pejabat AS percaya Presiden Xi Jinping telah menginstruksikan militernya agar siap melakukan operasi terhadap Taiwan pada 2027.
Sejalan dengan itu, Beijing meningkatkan produksi alutsista untuk menghadapi invasi maritim terbesar sejak pendaratan Sekutu di Normandia pada 1944.
Meski China berulang kali menyatakan sikap netral dalam perang Rusia-Ukraina yang sudah berlangsung 43 bulan, Barat menuduh Beijing justru membantu Moskow dengan pembelian energi fosil dan ekspor barang-barang ganda (dual-use).
Sekjen NATO Mark Rutte bahkan memperingatkan pada Juli lalu bahwa Rusia bisa memanfaatkan hubungan erat dengan China untuk membuat aliansi 32 negara itu sibuk jika Xi benar-benar memutuskan langkah militer terhadap Taiwan.
William Yang, analis senior di Crisis Group, menilai laporan RUSI memperkuat dugaan lama bahwa kerja sama pertahanan Beijing-Moskow jauh lebih dalam daripada yang diakui.
"Ini membuktikan kedua pemerintah mencari cara spesifik untuk saling melengkapi," ujarnya.
Bagi Kremlin, kesepakatan ini bukan hanya keuntungan ekonomi, tapi juga sarana "mengunci" hubungan bilateral dengan China.
Para penulis laporan RUSI, Oleksandr Danylyuk dan Jack Watling, menegaskan bahwa selama ini Rusia berhati-hati mengekspor teknologi militernya ke China karena khawatir akan pencurian hak cipta. Namun kini, Moskow makin melihat potensi invasi Taiwan sebagai jalan untuk memperkuat posisinya di hadapan Beijing.
"Rusia bisa menjadi pemasok bahan mentah vital sekaligus kapasitas industri militer," tulis mereka.
Di Taipei, Kementerian Luar Negeri Taiwan menegaskan pihaknya memantau secara serius perkembangan tersebut. "Kami akan terus mengawasi... dan menyiapkan semua langkah balasan yang diperlukan untuk menjamin perdamaian di Selat Taiwan dan stabilitas kawasan," kata Chen Yongbo, pejabat senior kementerian, dalam pernyataan yang dibagikan kepada Newsweek.
Sementara itu, juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Guo Jiakun, kembali menegaskan sikap Beijing bahwa Taiwan adalah bagian dari negaranya.
"Masa depan Taiwan terletak pada reunifikasi dengan China. Tidak ada yang bisa menghentikan reunifikasi itu," ujarnya dalam konferensi pers rutin, Senin.
Â
(luc/luc)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Tiba-Tiba Xi Jinping & Putin Bertemu '4 Mata', Ada Apa China-Rusia?
