Internasional

Trump-Netanyahu Siap Bentrok di Gedung Putih, Momen Penentu Nasib Gaza

luc, CNBC Indonesia
Senin, 29/09/2025 20:00 WIB
Foto: Presiden AS Donald Trump menyambut Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu di pintu masuk Gedung Putih di Washington, AS, 4 Februari 2025. (REUTERS/Leah Millis)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pertemuan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu di Gedung Putih pada Senin (29/9/2025) akan menjadi momen penentu bagi rencana perdamaian Gaza versi Washington.

Trump sebelumnya mengeklaim bahwa kesepakatan untuk mengakhiri perang hampir dua tahun di Gaza, membebaskan sandera Hamas, dan melucuti kelompok tersebut sudah "hampir selesai". Ia bahkan menulis di Truth Social pada Minggu (28/9/2025), "SEMUA PIHAK SUDAH SIAP UNTUK SESUATU YANG ISTIMEWA, PERTAMA KALI TERJADI. KITA AKAN MEWUJUDKANNYA!!!"

Namun, sinyal berbeda datang dari Netanyahu. Dalam pidatonya di Majelis Umum PBB pada Jumat lalu, ia menegaskan tekad Israel untuk "menyelesaikan pekerjaan" melawan Hamas serta berjanji menggagalkan pembentukan negara Palestina yang baru-baru ini diakui oleh beberapa negara Barat.


Netanyahu juga enggan menghentikan operasi militer di Kota Gaza, yang telah membuat ratusan ribu warga sipil mengungsi dalam beberapa pekan terakhir.

Ini merupakan kunjungan keempat Netanyahu ke Gedung Putih sejak Trump kembali menjabat pada Januari lalu. Hubungan keduanya kerap disebut erat, namun Trump mulai menunjukkan frustrasi terhadap kebijakan keras Netanyahu.

Ia sudah memperingatkan agar Israel tidak melakukan aneksasi Tepi Barat dan menentang serangan terbaru Israel terhadap tokoh Hamas di Qatar, sekutu dekat Washington sekaligus mediator utama gencatan senjata Gaza.

Keluarga sandera Israel yang ditahan Hamas mendesak Trump untuk tetap teguh dengan rencana damai yang ditawarkan.

"Kami dengan hormat meminta Anda untuk berdiri tegas melawan segala upaya sabotase terhadap kesepakatan yang telah Anda usulkan. Taruhannya terlalu besar dan keluarga kami sudah menunggu terlalu lama untuk digagalkan," tulis Forum Keluarga Sandera dan Orang Hilang dalam surat terbuka, dikutip AFP.

Menurut Natan Sachs, peneliti senior di Middle East Institute, keberhasilan pertemuan ini sangat bergantung pada sejauh mana Trump berani menekan Netanyahu.

"Netanyahu jelas lebih memilih melanjutkan perang dan menghancurkan Hamas, tapi bukan berarti mustahil bagi Trump untuk meyakinkannya. Itu membutuhkan tekanan kuat dan strategi yang berkesinambungan," ujarnya kepada AFP.

Rencana AS yang dilaporkan berbentuk dokumen 21 poin mencakup perlucutan Hamas, pembebasan semua sandera, serta gencatan senjata. Nama mantan perdana menteri Inggris Tony Blair juga disebut-sebut sebagai kandidat pemimpin otoritas transisi internasional untuk Gaza yang akan didukung PBB dan negara-negara Teluk sebelum kendali diserahkan ke Otoritas Palestina (PA) yang direformasi.

Namun Netanyahu dalam pidato PBB menolak keras keterlibatan PA, yang pernah memerintah Gaza hingga Hamas mengambil alih pada 2007.

Kepada Fox News pada Minggu, ia menyindir gagasan PA yang direformasi. "Kemungkinan Otoritas Palestina benar-benar berubah total, menerima negara Yahudi, dan mengajarkan anak-anaknya untuk hidup berdampingan... yah, semoga berhasil."

Sementara itu, Menteri Keuangan Bezalel Smotrich pada Senin menegaskan serangkaian "garis merah", termasuk menuntut militer Israel mempertahankan kebebasan operasi penuh di seluruh Jalur Gaza, termasuk di Koridor Philadelphia di perbatasan Gaza-Mesir yang dianggap vital untuk mencegah penyelundupan senjata.

Smotrich menolak keterlibatan PA maupun Qatar dalam masa depan Gaza, dan menegaskan "tidak boleh ada penyebutan, bahkan tersirat, tentang negara Palestina yang akan membahayakan keberadaan Israel."

Ia juga menyatakan ingin memanfaatkan "kesempatan bersejarah dari pemerintahan Trump untuk secara politik dan praktis menetapkan bahwa Yudea dan Samaria adalah bagian tak terpisahkan dari negara Israel berdaulat".

 


(luc/luc)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Kata-Kata Hamas Usai Didesak Tak Lagi Memerintah Gaza