Bos KS 'Teriak' Industri Baja RI di Titik Nadir, Tunjuk Biang Keroknya
Jakarta, CNBC Indonesia - Industri baja nasional sedang berada di titik kritis. Serbuan baja murah asal China membanjiri pasar domestik, membuat industri baja dalam negeri di titik nadir karena kini menghadapi tekanan berat dari sisi daya saing, utilisasi pabrik, dan ketergantungan terhadap impor.
Direktur Krakatau Steel Muhammad Akbar secara tegas menyuarakan perlunya langkah strategis untuk melakukan repositioning menyeluruh terhadap ekosistem baja nasional.
"Situasi baja nasional sekarang di satu titik nadir, gimana ekosistem baja nasional saatnya kita repositioning, utamanya gimana repositioning tata niaga baja impor, kita harusnya memakai momentum tarif Trump yang tinggi, sehingga perlindungan produksi dalam negeri nggak hanya Krakatau Steel tapi industri turunannya," ujar Akbar dalam rapat kerja dengan Komisi VII, Senin (29/9/2025).
Krakatau Steel saat ini berfungsi sebagai induk yang mencakup produksi dari sektor hulu hingga midstream, sementara sektor hilir dilanjutkan oleh industri turunan. Namun peran ini kian sulit dijaga di tengah arus baja impor yang makin agresif.
"Situasi baja nasional dengan uncertainty global supply chain dunia terutama dampak Donald Trump yang memberi tarif luar biasa. Resiprokal 19 persen ditambah 50 persen baja, mana aja yang masih impor. Artinya ini beri potensi impor baja China yang masuk ke South East Asia, di mana negara Asia Tenggara paling lemah proteksinya," lanjut Akbar.
Impor Baja dari China Melonjak
Pernyataan Akbar diperkuat oleh data lapangan. Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia (IISIA) mencatat, impor baja dari China melonjak signifikan dalam satu tahun terakhir. Pada semester I 2024 saja, impor baja China meningkat 34 persen menjadi 2,98 juta ton dari sebelumnya 2,23 juta ton.
Sepanjang 2023, volume impor baja dari China mencapai sekitar 4,16 juta ton. Angka itu melonjak 35,4 persen dibanding tahun sebelumnya dan menjadikan China sebagai penyumbang terbesar terhadap total impor baja nasional, yaitu sekitar 28 persen.
Sementara itu, data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat China menjadi negara asal impor terbesar Indonesia pada awal 2025. Pada Januari saja, nilai impor nonmigas dari China mencapai 6,34 miliar dolar AS, setara 40,86 persen dari total impor nonmigas nasional. Besi dan baja menjadi salah satu kontributor utama dalam struktur impor tersebut.
Data dari IISIA menunjukkan, kapasitas produksi industri baja dalam negeri terus menurun. Tingkat utilisasi pabrik baja di beberapa segmen hanya berkisar 30 hingga 60 persen. Sinyal bahaya semakin nyata, bukan hanya bagi produsen utama seperti Krakatau Steel, tetapi juga industri pendukung dan turunannya.
Menanggapi situasi ini, Akbar menekankan, transformasi internal menjadi salah satu fokus utama Krakatau Steel agar tetap kompetitif di tengah gempuran produk asing.
"Tentu ini jadi concern bagi kita secara internal daya saing dulu kita akan transformasi mulai dari program efisiensi dari seluruh Krakatau Steel," tegasnya.
Kondisi ini menunjukkan bahwa tantangan industri baja bukan sekadar masalah pasar, tapi soal bagaimana negara merespons perubahan peta perdagangan global. Ketika negara lain memperketat masuknya baja asing demi melindungi industrinya, Indonesia justru menjadi pasar terbuka yang paling rentan di kawasan Asia Tenggara.
Jika tidak segera ada langkah konkret berupa kebijakan tarif, kuota, atau tindakan anti-dumping, bukan tidak mungkin industri baja nasional hanya akan menjadi penonton di negeri sendiri.
(dce)