Terkuak! Ini Penyebab Rupiah Terkapar Dihajar Dolar AS

Zahwa Madjid, CNBC Indonesia
Jumat, 26/09/2025 15:45 WIB
Foto: Petugas menjunjukkan uang pecahan dolar AS dan rupiah di Dolarindo Money Changer, Jakarta, Selasa (8/4/2025). (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah mengalami tekanan hebat dalam seminggu terakhir. Puncaknya, pada perdagangan kemarin, Kamis (25/9/2025), rupiah sudah tembus level psikologis Rp16.700/US$.

Global Markets Economist Maybank Indonesia, Myrdal Gunarto menilai pelemahan rupiah disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satunya tren penguatan dolar yang merupakan respon dari data-data Amerika yang membaik.


Seperti data pertumbuhan ekonomi kuartal-II yang tumbuh 3,8%, lebih tinggi daripada ekspektasi pelaku pasar, sekitar 3,5%.

"Dan ini memicu perpindahan dana dari emerging market ke developed market, termasuk Indonesia," ujar Myrdal kepada CNBC Indonesia, Jumat (26/9/2025).

Di sisi lain, Myrdal menilai permintaan dolar dalam negeri juga meningkat. Terutama untuk kebutuhan bayar utang atau pembayaran rutin di akhir bulan, bayar bunga utang luar negeri, dan juga bayar impor.

"Jadi ini yang memicu kenaikan dolar domestik, kenaikan permintaan dolar domestik," ujarnya.

Myrdal menilai aksi jual investor asing di pasar saham maupun pasar obligasi yang dipengaruhi oleh berbagai manuver kebijakan dari pemerintah dan Bank Indonesia menjadi penyebab sejumlah bank menjual dolar dengan harga tinggi.

Seperti yang diketahui, Bank Indonesia (BI) kembali menurunkan suku bunga acuan atau BI rate sebesar 25 bps menjadi 4,75% pada September 2025.

Suku bunga Deposit Facility diturunkan sebesar 50 bps menjadi 3,75%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 25 bps menjadi 5,50%.

Diberitakan sebelumnya, sejumlah bank menjual dolar dengan nilai tukar mayoritas telah mendekati Rp 17.000/US$ dan tercatat setidaknya satu bank asing telah melewati angka psikologis tersebut.

"Mereka kelihatannya memilih untuk wait and see dulu disini, sambil mereka jual barang yang mereka punya dengan rekomendasi sell on rally, sehingga itu yang membuat kenapa rupiah terus melemah sampai sekarang ini," ujarnya.

Myrdal memperkirakan rupiah akan berada di level 16.842/US$ untuk posisi resisten. Menurutnya, posisi rupiah dapat bertahan dibawah level Rp 17.000/US$. Pasalnya, cadangan devisa Indonesia saat ini cukup berlimpah dan kondisi surplus perdagangan masih terjaga.

"Untuk level Rp 17.000 seharusnya bisa dicegah dengan posisi cadangan devisa sekarang yang berlimpah, trade surplus kita juga bagus, jadi kita harapkan sih akan bisa dimanage rupiah itu tidak terlalu melemah, apalagi sampai break ke level di atas Rp 17.000," ujarnya.

Sementara Presiden Komisioner HFX Internasional Berjangka Sutopo Widodo menilai [elemahan Rupiah saat ini adalah kombinasi dari tekanan eksternal yang dominan diperparah oleh kerentanan domestik.

Faktor eksternal, yang menjadi pemicu utama, adalah berkurangnya ekspektasi pasar akan pemotongan suku bunga bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve. Hal ini membuat imbal hasil aset AS jauh lebih menarik, memicu capital outflow besar-besaran dari pasar obligasi dan saham Indonesia.

Namun, tekanan eksternal ini diperburuk oleh faktor domestik, seperti tingginya kebutuhan devisa untuk impor dan pembayaran utang luar negeri korporasi, serta sentimen investor yang berhati-hati terhadap ketidakpastian kebijakan fiskal atau politik domestik.

"Jadi, meskipun biang kerok berasal dari luar, faktor internal memastikan rupiah menjadi salah satu mata uang yang paling tertekan di kawasan," ujar Sutopo kepada CNBC Indonesia, Jumat (26/9/2025).

Sementara Sutopo menilai aksi jual tupiah oleh beberapa bank asing yang memproyeksikan harga mencapai Rp17.000/US$ bukan sekadar respons teknikal jangka pendek, melainkan refleksi kekhawatiran yang lebih mendalam terkait prospek ekonomi Indonesia dalam menghadapi lingkungan global yang tidak pasti.

"Proyeksi semacam ini menunjukkan bahwa para pemain besar di pasar melihat rupiah telah kehilangan buffer yang cukup kuat untuk menahan tekanan dolar," ujarnya.

Dirinya menjelaskan, kekhawatiran tersebut mencakup potensi melemahnya cadangan devisa Bank Indonesia (BI) akibat intervensi yang berkelanjutan, risiko inflasi yang tinggi akibat depresiasi nilai tukar atau imported inflation dan kekhawatiran atas stabilitas fiskal di tengah rencana belanja pemerintah yang agresif.

Sutopo menilai level Rp17.000 adalah batas psikologis yang, jika ditembus, dapat memicu kepanikan pasar yang lebih luas dan memerlukan respons kebijakan yang lebih drastis.

Dalam jangka pendek, dengan nilai tukar saat ini berada di sekitar Rp16.740 pergerakan rupiah kemungkinan akan berfluktuasi dalam rentang konsolidasi yang tinggi dan rentan. Rupiah diperkirakan akan bergerak dalam rentang sekitar Rp16.550 sebagai support terdekat hingga Rp16.850 sebagai resistance.

"Batas atas ini dapat diuji jika data inflasi PCE AS yang dirilis Jumat menunjukkan angka yang lebih panas dari perkiraan, atau jika ketidakpastian politik domestik meningkat. Bank Indonesia diperkirakan akan terus melakukan intervensi di pasar spot dan pasar forward untuk menjaga Rupiah agar tidak menembus batas psikologis Rp16.800, mengingat tekanan berkelanjutan dari arus modal keluar yang belum mereda,"ujarnya.


(haa/haa)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Cadev RI Susut USD 1,3 Miliar di Agustus 2025