Efek Purbaya & BI Rate Mulai Terasa, Data Ini Jadi Buktinya!

Arrijal Rachman, CNBC Indonesia
Kamis, 18/09/2025 13:50 WIB
Foto: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa saat konpres di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (15/9/2025). (CNBC Indonesi/Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Perekonomian Indonesia mulai merasakan efek kebijakan moneter dan fiskal yang berkombinasi fokus mendorong pertumbuhan ekonomi. Tanda-tandanya pada tahap awal mulai muncul di pasar keuangan.

Dari sisi fiskal, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa memastikan belanja negara akan agresif untuk memastikan peredaran uang primer tumbuh mendorong konsumsi.

Bahkan, dana menganggur pemerintah telah dipindahkan dari BI senilai Rp 200 triliun ke lima bank milik negara pada bulan ini. Dikombinasikan dengan paket stimulus ekonomi akhir tahun yang telah diberi nama paket stimulus 8+4+5.


Kemudian ditambah kebijakan Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo secara agresif menurunkan suku bunga acuan BI Rate sebanyak lima kali sebesar 125 basis points (bps) pada tahun ini hingga ke level 4,75% pada September 2025.

Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan, data Indonesia Overnight Index Average atau INDONIA turun sekitar 144 bps sejak awal tahun, SRBI tenor 6-12 bulan turun lebih dari 200 bps, dan yield SBN 2 tahun turun sekitar 185 bps.

"Ini menandakan biaya dana jangka pendek bank sudah lebih murah, sehingga saluran pertama stimulus moneter bekerja segera," kata Josua kepada CNBC Indonesia, dikutip Kamis (18/9/2025).


Dari sisi penurunan bunga dana dan bunga kredit perbankan ia mengakui memang cenderung butuh waktu efek transmisinya dari kebijakan moneter BI. Tetapi sedang dipercepat oleh bauran kebijakan, terlihat dari langkah pemotongan koridor bawah dan penyesuaian operasi moneter mendorong bank menurunkan suku bunga simpanan lebih cepat.

"Data asessment BI menunjukkan pada Agustus, rata-rata tertimbang bunga kredit rupiah turun tipis 3 bps menjadi 9,13% dan bunga kredit baru juga turun 3 bps; di sisi dana, bunga DPK rupiah turun 6 bps menjadi 3,07%," ucap Josua.

"Untuk sektor prioritas, bunga kredit juga telah berada di bawah rata-rata industri, misalnya klaster konstruksi/perumahan rakyat dan green tercatat lebih rendah daripada agregat, mencerminkan transmisi mulai terjadi ke kantong pembiayaan yang menjadi sasaran," paparnya.

Adapun efek dari sisi fiskal, Josua mengatakan, penempatan dana pemerintah Rp 200 triliun di bank-bank BUMN menambah pasokan likuiditas murah sehingga menekan kebutuhan bank menawarkan special rate deposito.

"Sejalan dengan itu, basis uang beredar yang disesuaikan (M0 Adjusted) sudah tumbuh lebih cepat 7,34% yoy di Agustus, dan M2 juga akseleratif, indikator dini bahwa transmisi ke uang beredar mulai menguat," ungkap Josua.

Dengan adanya mekanisme pasokan likuiditas itu, Josua menegaskan, biasanya memaksa penurunan bunga simpanan lebih merata, hingga pada akhirnya menetes ke bunga kredit.

Namun, secara agregat, Josua mengakui penurunan bunga kredit memang masih tipis sehingga belum semua cicilan terasa lebih ringan. Meski begitu, ada dua sinyal awal yang penting yang akan membalikkan kondisi itu lebih cepat.

Josua mengatakan, sinyal pertama OJK mencatat secara tahunan bunga kredit investasi sudah turun 36 bps dan kredit modal kerja turun 20 bps; dan bunga deposito juga mulai menurun. Ini artinya suku bunga untuk kredit baru cenderung bergerak lebih dulu daripada kredit berjalan.

Kedua, pada sektor yang menjadi prioritas insentif (termasuk perumahan/konstruksi), level suku bunga sudah lebih kompetitif daripada rata-rata industri sehingga ruang promo KPR/KPA biasanya muncul lebih cepat di segmen ini.

Dalam praktiknya, Josua menjabarkan bahwa mekanisme transmisi ini akan diawali dengan kondisi kredit baru yang memperoleh tarif lebih rendah lebih dulu, sedangkan kredit berjalan mengikuti jadwal peninjauan ulang tingkat bunga pinjaman sesuai jadwal yang tertulis diperjanjian kredit.

Pola umumnya pasar uang & SBN merespons segera (sudah terjadi), lalu bunga simpanan turun nyata dalam 1-3 bulan. Setelahnya, bunga kredit, termasuk KPR/KPA, biasanya bergerak lebih berarti dalam 3-6 bulan seiring biaya dana turun dan kompetisi kredit meningkat.

Setelah kondisi itu terjadi penarikan kredit dan belanja riil menguat dalam 2-4 kuartal. Diiringi dengan indikator kesiapan permintaan yang juga muncul, meski saat ini rasio fasilitas kredit yang belum ditarik atau undisbursed loan masih tinggi, sebesar 22,7% dari plafon.

"Artinya begitu suku bunga turun dan keyakinan membaik, penarikan kredit bisa cepat terjadi. Dengan penurunan suku bunga yang dipercepat oleh desain operasi moneter dan didukung injeksi likuiditas fiskal, efek penuh terhadap konsumsi-investasi sangat mungkin lebih terasa pada 2026, sementara perbaikan bertahap sudah muncul sejak paruh akhir 2025," ucap Josua.

Perkiraan jangka waktu transmisi kombinasi kebijakan moneter dan fiskal yang paling besar efeknya pada 2026 itu juga disampaikan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Andalas Syafruddin Karimi.

Karimi menilai, dampak tercepat transmisi dua kebijakan pendorong ekonomi itu akan terasa pada kuartal IV-2025 ketika bank menurunkan suku bunga dasar kredit atau SBDK dan melakukan repricing kredit, cicilan KPR dan modal kerja mulai turun, serta pipeline pembiayaan bergerak karena dana pemerintah dikonversi menjadi kredit produktif.

"Efek penuhnya menguat pada kuartal I-II 2026 seiring keputusan investasi dan perekrutan yang membutuhkan waktu," ucap Karimi.

Oleh sebab itu, ia mengatakan, target pertumbuhan ekonomi pemerintah sepanjang tahun ini di level 5,2% untuk 2025 tetap mungkin tercapai, asalkan kuartal IV ekonomi mampu tumbuh mendekati 5,7-5,9% yoy karena efek SBDK turun nyata pada Oktober-November, lebih dari 60% dana Rp 200 triliun tersalurkan sebelum akhir Desember, dan stabilitas rupiah terjaga sehingga bank tidak menahan penyaluran.

Karena target setahun 2025 itu sebesar 5,2%, sementara Semester I baru 4,99% yakni kuartal I sebesar 4,87% dan kuartal II 5,12%, maka Semester II kata Karimi harus rata-rata mampu 5,41% supaya rata-ratanya naik ke 5,2%.

Jika pertumbuhan kuartal III-2025 realistis berada di kisaran 5,0-5,1%, maka pada kuartal IV ia sebut perlu menutup selisih agar rata-rata Semester II mencapai 5,41%. Dengan bobot sederhana per setengah tahun itu, berarti kuartal IV-2025 harus mampu tumbuh di sekitar 5,72-5,82%.

"Untuk memberi bantalan sekaligus mengantisipasi perbedaan bobot musiman, yakni porsi aktivitas Q4 biasanya sedikit lebih besar dan risiko transmisi kebijakan yang belum penuh, target kerja yang aman diletakkan di rentang 5,7-5,9%. Itulah sebabnya Q4 harus kencang agar setahun penuh mendekati 5,2%," ucap Karimi.


(arj/mij)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Dorong Stimulus 8+4, Daya Beli Masyarakat Siap Ngegas