Gula Rafinasi Rembes ke Pasar-Dijual Murah, Bos Bapanas Bilang Begini
Jakarta, CNBC Indonesia - Badan Pangan Nasional (Bapanas) menyoroti temuan gula rafinasi yang seharusnya khusus untuk industri makanan dan minuman (mamin) justru beredar di pasar, termasuk di Serang, Banten. Kondisi ini dikhawatirkan semakin memukul petani tebu lokal.
Kepala Bapanas Arief Prasetyo Adi menegaskan, pemerintah harus bergerak cepat mengendalikan peredaran gula rafinasi.
"Pokoknya, gula rafinasi itu harus dikendalikan," kata Arief saat ditemui di kantor Kemenko Pangan, Jakarta, Kamis (11/9/2025).
Arief mengatakan, pengendalian ini sejalan dengan arahan Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan. Ia juga meminta Kementerian Perdagangan lewat Ditjen Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga (PKTN) memperkuat pengawasan.
"Jadi pengendalian gula rafinasi. Karena tadi ditemukan di Banten, di Serang, masih ada gula rafinasi," ungkapnya.
Menurut Arief, harga gula rafinasi lebih murah Rp2.000-Rp3.000 per kg dibandingkan gula petani lokal, sehingga membuat produk dalam negeri sulit bersaing.
"Kalau dia (rafinasi) dijual di pasar, gula kita (petani tebu) ini bisa nggak laku nih. Dan harusnya gula ini untuk industri. Industri adalah industri, walaupun dikonsumsi juga, tapi industri adalah industri. Gula konsumsi, gula konsumsi," jelasnya.
Ia menambahkan, selisih harga ini tak lepas dari rendahnya rendemen gula lokal dibanding negara lain. "Jadi ke depan, bukan berarti harga lelang itu Rp14.500 terus kita diam. Nggak. Karena rendemen di luar negeri itu bisa di atas 12%, bisa 13%," kata dia.
Untuk memperbaiki rendemen, Arief menyebut banyak faktor yang harus dibenahi mulai dari area tanam, benih, cuaca, pupuk, perawatan, panen, hingga produksi pascapanen. Ia juga menegaskan bila masih ditemukan gula rafinasi yang merembes ke pasar, Satgas Pangan akan turun tangan.
Masalah ini sebelumnya juga menjadi perhatian Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI). Sekretaris Jenderal APTRI, M. Nur Khabsyin menilai kebocoran gula rafinasi jelas melanggar aturan.
"Kalau rafinasi ini khusus ke industri makanan minuman. Kalau gula petani, gula lokal ini ke masyarakat. Sebagai konsumsi itu aja aturannya kan. Kita sesuai aturan saja," ujarnya saat menghadiri Seminar Ekosistem Gula Nasional di Jakarta, Rabu (27/8/2025).
Menurut Khabsyin, kebocoran terjadi di banyak titik, mulai dari produsen, distributor, hingga koperasi pemasaran. Ia mendesak pemerintah memperketat jalur distribusi rafinasi.
"Itu (kebocoran gula rafinasi) banyak pintu. Jadi kebocorannya banyak pintu. Bisa dari produsennya, bisa dari distributornya, atau dari koperasi pemasarannya. Maka kami mengusulkan supaya ada pengetatan," katanya.
APTRI juga mengusulkan kuota distribusi lewat koperasi makanan minuman dibatasi maksimal 20%, sementara sisanya langsung disalurkan perusahaan rafinasi ke industri makanan dan minuman. Hal ini untuk mencegah gula rafinasi merembes ke pasar konsumsi.
Khabsyin bahkan mengungkap jumlah kebocoran sangat besar, mencapai 500 ribu ton. "Nah ini kalau kebocoran rafinasi kita hitung ada 500.000 ton total nasional, karena kebutuhan rafinasi itu paling-paling hanya 2,7 juta ton. Tetapi impornya 3,4 juta ton. Jadi ini tidak masuk akal makanya banyak yang bocor," bebernya.
Ia menambahkan, harga gula rafinasi lebih murah karena bahan bakunya berasal dari impor dengan biaya jauh lebih rendah dibanding produksi dalam negeri.
(dce)