DPR Pangkas Tunjangan, Negara Hemat Rp 260 M/Tahun

Arrijal Rachman, CNBC Indonesia
08 September 2025 12:50
Presiden Indonesia Prabowo Subianto menyampaikan Pidato Kenegaraan tahunannya, menjelang Hari Kemerdekaan negara ini, di Jakarta, Indonesia, 15 Agustus 2025. (REUTERS/Ajeng Dinar Ulfiana/Pool)
Foto: Presiden Indonesia Prabowo Subianto menyampaikan Pidato Kenegaraan tahunannya, menjelang Hari Kemerdekaan negara ini, di Jakarta, Indonesia, 15 Agustus 2025. (REUTERS/Ajeng Dinar Ulfiana)

Jakarta, CNBC Indonesia - Langkah pimpinan DPR RI yang memangkas berbagai tunjangan para anggota dewan, termasuk tunjangan perumahan yang senilai Rp 50 juta menurut sejumlah pakar mampu menghemat sedikitnya Rp 260 miliar anggaran negara dalam APBN.

Manager Riset dan Data Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas FITRA) Badiul Hadi mengatakan, setidak penghematan anggaran dari pemangkasan berbagai tunjangan per anggota itu senilai Rp 39 juta per anggota per bulan, dari semula mencapai kisaran Rp 104 juta lebih menjadi hanya Rp 65,59 juta.

"Dari sisi penghematan anggaran, selisih sekitar Rp 39 juta per anggota per bulan, memang terlihat besar jika dikalikan 580 anggota DPR, setara kurang lebih Rp 22 miliar per bulan atau sekitar Rp 260 miliar per tahun," kata Badiul kepada CNBC Indonesia, Senin (8/9/2025).

Meski besaran penghematan APBN dari pemangkasan berbagai tunjangan itu mencapai Rp 260 miliar per tahun, Badiul Hadi menganggap dalam konteks belanja negara dalam APBN 2025 angka itu relatif kecil dan tidak signifikan untuk menutup defisit maupun memperbaiki struktur fiskal negara.

Di sisi lain, komponen tunjangannya masih ada yang ia anggap tidak perlu, seperti pemberian honorarium tambahan untuk fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran. Menurut Badiul ketiga jenis honorarium itu seharusnya melekat dalam tugas pokok DPR, bukan pekerjaan ekstra.

"Jadi, pemangkasan ini lebih bersifat simbolik dan politis ketimbang berdampak nyata pada penghematan nasional, sebagai dampak dari tuntutan Rakyat," tegasnya.

Namun, bila dilihat berdasarkan upaya normalisasi pendapatan para pejabat negara yang mayoritas bersumber dari setoran pajak masyarakat, upaya pemangkasan tunjangan itu ia anggap menjadi tonggak awal untuk merancang sistem remunerasi pejabat publik yang lebih rasional, transparan, dan berbasis kinerja.

"Langkah ini bisa dianggap sebagai sinyal adanya kesadaran publik mengenai kesenjangan antara pejabat negara dengan masyarakat, khususnya pembayar pajak. Ketika gaji anggota DPR bisa puluhan kali lipat dari rata-rata upah pekerja formal (sekitar Rp3-5 juta per bulan), ketimpangan itu terasa mencolok dan bisa menggerus legitimasi politik," paparnya.

Ia menganggap, dalam merasionalisasikan pendapatan para politikus di DPR seharusnya perlu diikat pula dengan indikator kinerja yang jelas, agar publik bisa menilai hal ini tidak hanya sebagai pembungkus baru dari tunjangan lama.

"Dengan kata lain, secara angka tunjangan DPR kini lebih ideal, tetapi tantangannya adalah memastikan transparansi dan akuntabilitas agar sesuai dengan kualitas kerja legislasi yang dihasilkan," paparnya.

Direktur Riset Bright Institute Muhammad Andri Perdana memiliki pandangan serupa dengan Badiul Hadi, dengan menekankan pemangkasan tunjangan tiu bisa menghemat anggaran negara. Namun, ia menganggap dampaknya hanya akan bisa terasa signifikan jika pemangkasan tunjangan dengan nominal tinggi ini dilakukan di seluruh jajaran pejabat kementerian dan lembaga negara.

"Karena kalau dari memangkas dari 580 anggota DPR RI saja tidak akan terlalu terasa secara makro, perlu pemangkasan belanja pegawai atau tunjangan jumbo juga di lembaga-lembaga yang lain, terutama yang saat ini anggarannya terus naik signifikan dalam beberapa tahun terakhir seperti di Kemenhan, Polri, ataupun Kejagung," tutur Andri.

Di sisi lain, dari sisi nominal, nilai pemangkasan yang diterapkan pimpinan DPR saat ini ia anggap juga masih jauh lebih tinggi ketimbang biaya hidup yang ditanggung masyarakat, berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional yang diselenggarakan oleh Badan Pusat Statistik atau Susenas BPS.

Andri menuturkan, pada dasarnya nilai tunjangan DPR selama ini terasa sangat besar di masyarakat karena penduduk Indonesia yang memiliki pengeluaran lebih dari Rp 10 juta per bulan per kapita tidak lebih dari 0.4% dari seluruh penduduk Indonesia.

"Itu menurut Susenas BPS, yang mana Rp 10 juta ini adalah sekitar 17 kali di atas garis kemiskinan atau standar "kelas atas" menurut Bank Dunia. Sehingga ketika masyarakat mendengar bahwa para pejabat sana mendapatkan tunjangan Rp50 juta hanya untuk "tunjangan rumah", rasa ketidakadilan itu dirasakan lebih dari 99,6% penduduk Indonesia," paparnya.

Direktur Center for Budget Analysis (CBA), Uchok Sky Khadafi juga menitikberatkan pada pentingnya pemangkasan anggaran yang dilakukan oleh pejabat di DPR harus diikuti dengan pemangkasan berbagai tunjangan pejabat negara di kementerian atau lembaga lainnya, bila ingin penghematan APBN bisa lebih dirasakan manfaatnya untuk kepentingan publik.

"Di K/L juga harus dipangkas, seperti uang operasional menteri, dan para pejabat kalau jadi narasumber dalam internal kementerian, tolong dong jangan dibayar dari APBN alias pajak rakyat. Juga fasilitas lain dari negara seperti mobil atau sewa mobil juga harus dipangkas. Lebih baik para ASN ini bukan naik mobil pribadi ke kantor, atau kemana mana itu harus pakai transportasi umum biar ada penghematan anggaran negara, atau tidak jadi beban pajak rakyat," paparnya.

Sebagaimana diketahui, berdasarkan Keputusan Rapat Konsultasi Pimpinan DPR dengan Pimpinan Fraksi-fraksi DPR tertanggal 4 September 2025, tunjangan perumahan para anggota DPR telah dihentikan sejak 31 Agustus 2025 beriringan dengan pemangkasan biaya langganan listrik dan jasa telepon, biaya komunikasi intensif, dan biaya tunjangan transportasi.

Moratorium kunjungan kerja luar negeri juga dilakukan sejak 1 September 2025, kecuali menghadiri undangan kenegaraan. Selain itu, anggota DPR yang telah dinonaktifkan oleh partai politiknya tidak dibayarkan hak-hak keuangannya.

"Keputusan ini diambil DPR RI untuk merespons aspirasi masyarakat, memperbaiki diri menjadi lembaga yang inklusif, dan mengembalikan kepercayaan publik," ujar Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad dalam keterangannya, sebagaimana dikutip kembali pada Senin (8/9/2025).

Dari hasil keputusan itu, para pimpinan DPR juga memastikan akan memperkuat transparansi dan partisipasi publik dalam proses legislasi dan kebijakan lainnya.

Selain itu, para pimpinan DPR juga mengungkapkan rincian take home pay atau pendapatan bersih yang diterima oleh para anggota DPR sesuai adanya pemangkasan tunjangan itu, disertai pula dengan dasar hukum nya per Mei 2025.

Dasar hukumnya itu sendiri terdiri dari Peraturan Pemerintah atau PP Nomor 75 Tahun 2000, PP Nomor 51 Tahun 1992, PP Nomor 59 Tahun 2003, Keputusan Presiden atau Keppres Nomor 9 Tahun 1962, Surat Keputusan Presiden Nomor 60 Tahun 2003, hingga Surat Izin Prinsip Menteri Keuangan Nomor S-311/MK.02/2025.

Berikut ini rinciannya:

Gaji Pokok dan Tunjangan Jabatan:

- Gaji Pokok Rp 4,2 juta

- Tunjangan Suami/Istri Pejabat Negara Rp 420 ribu

- Tunjangan Anak Pejabat Negara Rp 168 ribu

- Tunjangan Jabatan Rp 9,7 juta

- Tunjangan Beras Pejabat Negara Rp 289,68 ribu

- Uang Sidang/Paket Rp 2 juta

Total Gaji dan Tunjangan Melekat: Rp 16,7 juta.

Tunjangan Konstitusional:

- Biaya Peningkatan Komunikasi Intensif dengan Masyarakat Rp 20,03 juta

- Tunjangan Kehormatan Anggota DPR RI Rp 7,18 juta

- Peningkatan Fungsi Pengawasan dan Anggaran sebagai Pelaksanaan Konstitusional Dewan Rp 4,83 juta

- Honorarium Kegiatan Peningkatan Fungsi Dewan: Fungsi Legislasi Rp 8,46 juta, Fungsi Pengawasan Rp 8,46 juta dan Fungsi Anggaran Rp 8,46 juta

Total Tunjangan Konstitusional: Rp 57,4 juta.

Take Home Pay setelah Pajak

Dari gaji pokok dan tunjangan ini, anggota dewan mendapatkan penghasilan total bruto Rp 74,21 juta, lalu dipotong pajak PPh 15% untuk tunjangan konstitusional senilai Rp 8,61 juta, sehingga take home pay (THP) sebesar Rp 65,59 juta.

Bila dibandingkan dengan pendapatan sebelumnya yang viral karena gaji dan tunjangan DPR sempat menembus angka lebih dari Rp 104 juta, akibat adanya tunjangan perumahan Rp 50 juta karena mereka tak lagi mendapatkan rumah dinas, tentu angka pendapatan bersih para anggota DPR ini terbilang susut sekitar 37,01%.

Saat viralnya pendapatan tinggi para anggota DPR itu, hingga berujung demonstrasi besar pada Agustus 2025, nilai pendapatannya merujuk pada Surat Edaran Sekretariat Jenderal DPR RI Nomor KU.00/9414/DPR RI/XII/2010 tentang Gaji Pokok dan Tunjangan Anggota DPR dan Surat Menteri Keuangan Nomor S-520/MK.02/2015 yang menetapkan naiknya indeks sejumlah tunjangan anggota DPR.

Adapun rincian pendapatan yang viral sebelum demo itu sebagai berikut:

Gaji Pokok dan Tunjangan Melekat:

- Gaji pokok anggota DPR Rp 4,2 juta

-Tunjangan istri/suami (10 persen gaji pokok): Rp 420.000

- Tunjangan anak (maksimal 2 anak): Rp 168.000

- Uang sidang/paket: Rp 2 juta

- Tunjangan jabatan Rp 9,7 juta

- Tunjangan beras Rp 30.090 (4 juta Rp 120.360)

- Tunjangan PPh Pasal 21 Rp 2,69 juta

Tunjangan lainnya:

- Tunjangan kehormatan Rp 5,58 juta (anggota)

- Tunjangan komunikasi Rp 15,55 juta (anggota)

- Tunjangan peningkatan fungsi pengawasan dan anggaran Rp 3,75 juta (anggota)

- Bantuan listrik dan telepon Rp 7,7 juta

- Asisten anggota Rp 2,25 juta

- Tunjangan perumahan Rp 50 juta


(arj/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Video: PM Inggris Keir Starmer Bakal PHK 2.100 PNS Dalam 2 Tahun

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular