Bea Cukai Ungkap 5 Modus Utama Peredaran Rokok Ilegal

Zahwa Madjid, CNBC Indonesia
05 September 2025 17:30
Penjual menunjukkan rokok ilegal yang diperjual belikan di kawasan Jakarta,  Senin (14/7/2025). Peredaran rokok ilegal masih marak di wilayah Jakarta. Sejumlah pedagang menjajakan produk tanpa cukai itu secara terang-terangan di pinggir jalan raya. (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Foto: Penjual menunjukkan rokok ilegal yang diperjual belikan di kawasan Jakarta, Senin (14/7/2025). Peredaran rokok ilegal masih marak di wilayah Jakarta. Sejumlah pedagang menjajakan produk tanpa cukai itu secara terang-terangan di pinggir jalan raya. (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan membeberkan terdapat ada setidaknya 5 modus utama yang kerap digunakan untuk mengedarkan rokok ilegal di Indonesia.

Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Bea Cukai, Nirwala Dwi Heryanto menjelaskan, mulai dari rokok polos tanpa pita cukai, rokok dengan pita cukai palsu dan pita cukai bekas.

Selain itu, biasanya juga digunakan modus salah peruntukan. Modus ini memanfaatkan ketika pita cukai untuk Sigaret Kretek Tangan (SKT) ditempelkan pada Sigaret Kretek Mesin (SKM) tujuannya untuk membayar tarif cukai lebih rendah.

"Ini kalau dipajak lebih ke apa kalau menghindar harus bayar pajak yang lebih gede itu apa tax avoidance ya tax avoidance pita cukai SKT," ujar Nirwala dalam media briefing,Kamis (5/9/2025).

Modus lainnya yang kerap digunakan adalah salah personalisasi. Setiap pabrik golongan tertentu mendapat pita cukai dengan kode khusus atau personalisasi. Dengan modus ini, kode khusus untuk pabrikan tertentu dipasang pada rokok merek lain.

"Jadi menentukan tarif rokok itu berdasarkan 2 yang pertama jenis rokoknya yang kedua kapasitas produksinya supaya apa sesama jenis itu ada sigaret keretek tangan sigaret keretek mesin dan sigaret putih mesin. Kalau sigaret keretek itu berarti dia pakai clove pakai cengkeh tarif yang paling rendah adalah SKT yang medium SKM yang paling tinggi SPM," ujarnya.

Di luar modus pelanggaran, Nirwala juga menyinggung penerapan konsep ultimun remedium dalam penegakan hukum cukai. Menurutnya, banyak yang keliru mengartikan konsep ini sebagai denda.

"Apakah ultimum remedium itu menghilangkan pidananya? tidak tetapi mengakhirkan pidananya sepanjang you bayar denda jadi kalau ultimum remedium itu ya bukan menghilangkan pidananya dan itu yang terkena pasal ultimum remedium itu pasal genap 52, 54, 56, 58," ujarnya.

Nirwala menegaskan seluruh pelanggaran cukai pada dasarnya merupakan tindak pidana. Namun, melalui UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), pemerintah memberi ruang penyelesaian dengan pendekatan restorative justice agar penanganan perkara proporsional, tanpa mengurangi efek jera.

"Masakita nangkep katakanlah 10 slop di toko online ya kan semua pelanggaran di cukai itu hampir semuanya pidana ya kan masa iya-iya 5 slop sampai ke jaksa agung gitu loh 5 slop harus putusin menteri keuangan makanya diadakanlah yang namanya ultimum remedium," ujarnya.


(mij/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Penyelundukan Rokok Ilegal Rp1,3 Miliar Sukses Digagalkan di Jateng

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular