LPEM FEB UI: Data Ekonomi & Derita yang Dirasakan Rakyat Itu Beda!
Jakarta, CNBC Indonesia - Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI), sekaligus peneliti senior LPEM FEB UI Teguh Dartanto mengungkapkan daftar masalah yang menyebabkan kelas menengah melakukan aksi unjuk rasa secara meluas, melalui Demonstrasi Agustus 2025.
Demo yang berujung kericuhan hingga memakan korban jiwa itu ia sebut tak terlepas dari berbagai masalah tekanan ekonomi yang dihadapi masyarakat kelas pekerja selama ini, ditambah dengan data-data statistik yang tak mencerminkan kondisi sebenarnya masyarakat.
Data statistik yang tidak mencerminkan kondisi sebenarnya masyarakat itu memunculkan kekhawatiran makin terabaikannya nasib kelas menengah, dan masyarakat umum, karena salah sasarannya kebijakan pemerintah.
"Banyak angka-angka statistik itu menjadi sebuah kosmetik ya. Artinya antara angka dan rasa yang dirasakan oleh masyarakat itu berbeda. Sehingga ketika angka dan rasa tidak lagi sama, yang terjadi adalah unjuk rasa," kata Teguh dikutip dari youtube LPEM FEB UI, Kamis (4/9/2025).
Teguh menjelaskan, contoh statistik kosmetik yang tak mampu mencerminkan kondisi sebenarnya masyarakat ialah terus menurunnya angka pengangguran, tatkala masyarakat kelas pekerja kian menghadapi gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK), hingga harus masuk ke sektor-sektor informal yang tak memberikan upah layak dan jaminan sosial.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat data teranyar per Mei 2025 menunjukkan tingkat pengangguran terbuka (TPT) Indonesia turun menjadi 4,76% pada Februari 2025. Besaran penurunannya sekitar 0,06% poin dibanding Februari 2024 yang mencapai 4,82%. Sementara itu, kalangan pengusaha dan organisasi buruh mencatat jumlah PHK terus meningkat pada tahun ini dibanding tahun lalu.
Masyarakat yang terkena PHK dari pekerjaan formal itu pun pada akhirnya harus tetap mencari pendapatan, sehingga mau tidak mau ia mengambil jalan untuk tetap bekerja di sektor informal, seperti salah satunya sebagai pengemudi ojek online atau ojol.
"Karena di Indonesia sistem jaminan sosial kita tidak memberikan jaminan kepada orang pengangguran mereka mau nggak mau harus pergi ke sektor informal dan juga harus menjadi driver ojol, itu yang paling mudah dan paling cepat bisa menyerap lapangan kerja," ucap Teguh.
"Inilah yang terjadi. Jadi banyak statistik ini menjadi kosmetik, pembenaran, bahwa ini sudah hebat, sudah itu, tapi kita enggak pernah mau melihat lebih mendalam sebenarnya permasalahan yang ada. Ini yang terjadi," tegasnya.
Contoh lain statistik yang di kosmetik Teguh sebut ialah data kemiskinan. Presiden Prabowo Subianto sendiri pun sudah membanggakan data penurunan itu dengan menyebut telah dibisiki Kepala BPS angka kemiskinan turun saat Kongres Partai Solidaritas Indonesia (PSI), di Jawa Tengah, Minggu (20/7/2025).
Data kemiskinan RI dalam laporan BPS Mei 2025 lalu, menunjukkan tingkat kemiskinan Indonesia per September 2024 sebesar 8,57% atau sekitar 24,08 juta jiwa, menurun 0,46% dari Mei 2024. Namun angka laporan BPS ini berbeda jauh dengan laporan Bank Dunia, yang sempat menimbulkan perdebatan.
"Data kemiskinan kita turun tapi kalau kita mau melihat lebih mendalam, kemiskinan di perkotaan itu naik. Inilah yang sebenarnya ketika harapan tidak sesuai dengan kenyataan, ditambah lagi berbagai macam isu di kelas menengah bawah, ya akhirnya ambrol amarah itu," tuturnya.
"Ditambah lagi dengan berbagai ketimpangan yang ada, perilaku yang kurang pas dari elite kita itu yang membuat masyarakat juga akhirnya terjadilah amarah itu meledak. Dan memang dalam konteks Indonesia yang begitu besar memang pasti rawan ditunggangi," papar Teguh.
Pernyataan serupa sebetulnya juga telah disampaikan oleh Researcher bagian ekonomi untuk Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Deni Friawan. Ia menyebut persoalan utama demo atau kemarahan publik ke pemerintah dan DPR pada Agustus 2025 adalah krisis kepercayaan akibat tekanan perekonomian, ketimpangan, hingga runtuhnya legitimasi fiskal.
Menurutnya, masyarakat diminta membayar pajak, iuran, hingga menerima kebijakan efisiensi pemerintah. Namun di sisi lain, publik melihat tanda-tanda pemborosan, seperti penambahan jumlah kementerian dan lembaga, praktik rangkap jabatan di BUMN, serta menaikkan gaji dan tunjangan bagi pejabat dan anggota DPR.
"Kontradiksi ini menciptakan krisis legitimasi fiskal. Karena pada dasarnya fondasi kepercayaan yang menopangnya itu runtuh. Dalam teori ekonomi politik kita ketahui bahwa pajak adalah kontrak sosial antara rakyat dengan negara," ujar Deni dalam diskusi publik CSIS.
Selain itu, kondisi ini juga mencerminkan ketimpangan dan beban ekonomi yang semakin berat. Pertumbuhan ekonomi memang stabil di kisaran 5%, namun Deni menilai distribusinya semakin timpang karena bias pada sektor padat modal.
Gini ratio masih di angka 0,39, kelas menengah yang terus menurun, dan banyaknya masyarakat yang berada hanya sedikit di atas garis kemiskinan.
"Kalau pakai standar Bank Dunia yang sekarang mungkin tingkat kemiskinannya lebih tinggi lagi. Belakangan ini tingkat inflasi umum itu rendah, tapi pada waktu tertentu tingkat volatile food sangat tinggi. Misalnya hari ini harga beras itu kisaran Rp14.000 sampai Rp18.000, tengahnya misalnya Rp16.000 itu sangat-sangat membebani masyarakat," ujarnya.
Dari sisi ketenagakerjaan, Deni menyoroti tingginya tingkat PHK dan pekerja informal yang tidak dapat menghasilkan pendapatan layak yang mampu mengimbangi biaya hidup.
Di tengah berbagai beban ekonomi yang dirasakan oleh masyarakat, pemerintah justru mencanangkan program-program mahal yang dinilai Deni masih tidak efektif untuk mendorong perekonomian.
Seperti salah satunya program Makan Bergizi Gratis yang dianggarkan Rp 335 triliun dan anggaran belanja untuk pertahanan pertahanan, keamanan, dan ketertiban Rp 565 triliun mulai tahun depan.
"Jadi permasalahannya adalah secara ironis arah dari belanja negara justru juga tidak adil dan malah menambah luka. Belanja bantuan dan perlindungan sosial itu terus mengecil," ujar Deni.
"Permasalahannya adalah bagaimana anggaran itu dibelanjakan dan pertanggungjawaban serta transparansinya itu masih tidak jelas hingga hari ini. Apakah dana-dana yang dikeluarkan itu untuk membeli alat-alat yang baik, yang proper dalam organisasi angkatan pertahanan kita, atau kepolisian kita, atau malah itu menjadi alat untuk memukul rakyatnya sendiri," ujarnya.
(arj/mij)