
Banjir PHK Hingga Beras Mahal, LPEM FEB UI: Pemerintah Kerja Apa?

Jakarta, CNBC Indonesia - Para peneliti di Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) mengungkapkan cara yang bisa dilakukan pemerintah untuk meredam aksi unjuk rasa atau demo yang berujung ricuh, seperti demo berdarah Agustus 2025.
Wakil Kepala LPEM FEB UI bidang Pendidikan dan Pelatihan, Mohamad Dian Revindo mengatakan, salah satu cara utama yang dilakukan pemerintah untuk mencegah aksi unjuk rasa kembali terjadi, bahkan tak membuat kerusuhan yang bisa memicu korban jiwa sebagaimana Agustus 2025, ialah pemerintah mengurus masyarakat sesuai kebutuhannya.
Sebab, kericuhan itu ia sebut merupakan hasil akumulasi dari tekanan ekonomi yang melanda masyarakat, namun tak terakomodir oleh pemerintah dan para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Malahan, banyak data statistik yang "dikosmetik" sehingga seolah mengenyampingkan tekanan ekonomi yang sedang dirasakan masyarakat.
"Sudah terjadi rangkaian pemutusan hubungan kerja, kemudian harga beras naik, kemudian beberapa mitra penelitian LPEM kita temui, terlepas dari data-data pemerintah, mitra kita mengatakan semua sedang turun. Industri manufaktur, klien kita bilang turun, UKM turun, pegiat UKM semua mengatakan hal yang sama, terlepas dari apapun data yang disampaikan pemerintah," kata Revindo dikutip dari youtube LPEM FEB UI, Kamis (4/9/2025).
"Sehingga ini rangkaian. Tapi sebetulnya rangkaian ini tidak perlu meledak kalau saja masyarakat bisa memahami apa yang sedang dikerjakan pemerintah. Sebetulnya masyarakat kita kan bisa mengerti," ucap Revindo.
Selain statistik yang dipoles, Revindo mengatakan, kemarahan masyarakat melalui aksi unjuk rasa berskala besar dan meluas itu juga disebabkan ketimpangan pendapatan dan arogansi pejabat negara, baik di tingkat pemerintah daerah, pemerintah pusat, hingga DPR.
"Masalahnya, apa yang dilakukan pemerintah kita tidak bisa pahami secara mudah, apakah itu akan betul-betul berdampak pada perekonomian yang paling bawah? Ditambah lagi, respon terhadap publik yang tidak memadai, flexing, kemudian menganggap masyarakat bodoh, dan lain-lain itu menjadi pemuncak," paparnya.
Kepala Departemen Ekonomi FEB UI, sekaligus peneliti senior LPEM FEB UI Vid Adrison menambahkan, kericuhan demo yang sangat meluas pada Agustus 2025 juga sebetulnya bisa tak terjadi apabila masyarakat Indonesia betul-betul sejahtera. Ketika masyarakat sejahtera, mereka punya pilihan untuk menolak kericuhan, meski disogok uang.
"Sebetulnya sederhana, yang paling sederhana adalah memang fokus kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Karena kalau seandainya masyarakat itu sudah sejahtera, hidupnya sudah terjamin, sudah-sudah nyaman, perutnya sudah terisi, mereka enggak akan mikir yang lain-lain," ujar Vid.
Opsi kedua, untuk meredam kemarahan masyarakat, ia sebut ialah komunikasi pemerintah yang perlu diperbaiki. "Kalau belum bisa menyejahterakan masyarakat, komunikasikan dengan baik dan memiliki rasa empati terhadap masyarakat yang kondisinya tidak bagus, karena faktanya kemarin itu empati, mohon maaf, tidak ada," tegas Vid.
Ia pun menyebut kemarahan kelas menengah melalui demo Agustus 2025 itu sebetulnya dapat dibaca dari masalah kesenjangan pendapatan antara kelas pekerja dengan pejabat negara, dalam hal ini pemerintah dan DPR. Kondisi itu terjadi di tengah pendapatan kelas menengah yang memang tak mampu memenuhi kebutuhan hariannya selama ini.
"Nah itu bisa memantik ketidakpuasan dari masyarakat yang mengakibatkan ini demo memang dari hati nurani sendiri, karena adanya ketidakadilan dan yang lebih parah sih sebetulnya adalah kondisi ini bisa dimanfaatkan oleh beberapa pihak untuk memantik kerusuhan," ujar Vid.
Permasalahan ini juga telah tergambar dari tak kunjung hilangnya fenomena makan tabungan masyarakat, khususnya masyarakat kelas menengah akibat besarnya kebutuhan pengeluaran rutin di tengah pendapatan yang minim. Pendapatan yang ngepas, bahkan kurang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, hanya bisa dipenuhi dengan makan tabungan.
Kondisi ini terlihat dari merosotnya Indeks Menabung Konsumen (IMK) yang dicatat oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) per Juli 2025. IMK pada bulan Juli 2025 berada di level 82,2, melemah sebesar 1,6 poin dari posisi bulan sebelumnya. Hal ini sejalan dengan pelemahan komponen Indeks Waktu Menabung (IWM) sebesar 4,7 poin pada periode yang sama ke level 90,5.
"Perkembangan ini mencerminkan intensitas dan niat menabung konsumen yang melandai seiring dengan meningkatnya pengeluaran rumah tangga untuk pendidikan pada awal tahun ajaran baru, di tengah pemberian stimulus ekonomi dalam jangka pendek," ujar Direktur Group Riset LPS, Seto Wardono dikutip dari siaran pers LPS.
Khusus kelompok rumah tangga dengan pendapatan di atas Rp 3 juta-Rp7 juta, IMK tercatat melemah 3,2 poin, dan pendapatan di atas Rp 7 juta/bulan yang terkontraksi 8,8 poin. Sementara itu, Peningkatan terbesar IMK terlihat pada kelompok rumah tangga berpendapatan hingga Rp 1,5 juta/bulan (naik 9,1 poin MoM) dan rumah tangga berpendapatan di atas Rp 1,5 juta-Rp3 juta/bulan (naik 3,1 poin).
(arj/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kemenangan Bola Berujung Maut, Ricuh di Stadion Tewaskan 11 Orang