Eksportir Mulai Ketar-Ketir Efek Tarif 19% dari AS Ancam Neraca Dagang

Arrijal Rachman , CNBC Indonesia
03 September 2025 14:05
Suasana aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Kamis (26/9/2024). (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)
Foto: Suasana aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Kamis (26/9/2024). (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)

Jakarta, CNBC Indonesia - Neraca perdagangan Indonesia berpotensi tertekan setelah berlakunya tarif resiprokal Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump kepada Indonesia sejak 7 Agustus 2025.

Kalangan eksportir mengaku, meski efeknya pada awal lalu belum begitu besar, namun sejumlah komoditas mulai mengalami pelemahan permintaan, salah satunya untuk komoditas pakaian jadi.

"Karena baru mulai effect-nya Agustus dari kebijakan Trump, masih belum ada effect yang dialami oleh eksportir kita, kecuali mengenai volume pesanan sedikit menurun, salah satunya pakaian jadi," kata Ketua Umum Gabungan Pengusaha Ekspor Indonesia (GPEI) Benny Soetrisno kepada CNBC Indonesia, Rabu (3/9/2025).

Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat & Benang Filamen Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta turut mengonfirmasi turunnya permintaan komoditas itu dari AS, meski belum mengungkapkan nilai atau besaran penurunannya.

"Kalau dari data total ekspor TPT (tekstil dan produk dari tekstil) memang ada penurunan, dan sebagai besar turunnya dari pakaian jadi. Namun terkait penurunan pesanan baiknya ditanyakan ke Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), karena kalau di hulu belum terimbas akibat memang ekspor kita sangat kecil," tegasnya Redma.

Kalangan ekonom pun memprediksi, efek pemberlakuan tarif bea masuk sebesar 19% kepada komoditas ekspor asal Indonesia oleh Trump berpotensi menekan surplus neraca perdagangan Indonesia.

Per Juli 2025, surplus neraca perdagangan Indonesia sebetulnya masih mengalami surplus sebesar US$ 4,17 miliar, naik sedikit dibanding bulan sebelumnya sebesar US$ 4,10 miliar. Menandai surplus neraca perdagangan beruntun selama 63 bulan beruntun sejak Mei 2020.

Kepala Ekonom BCA David Sumual memperkirakan, efek tarif Trump ke RI bisa menekan surplus neraca perdagangan ke depan hingga ke level kisaran US$ 1 miliar.

Besarnya potensi penurunan surplus neraca perdagangan itu tak mengherankan karena Amerika Serikat masih menjadi negara tujuan utama ekspor Indonesia. Per Juli 2025, porsinya mencapai 11,75% dari total ekspor, menempatkannya di posisi kedua setelah China sebagai negara tujuan ekspor utama Indonesia.

"Surplus dagangan perkiraan kami akan menyusut ke depannya. Perkiraannya bisa turun ke arah US$ 1 miliar per bulan surplusnya," ucap David.

Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro mengatakan, efek tarif Trump sebetulnya mulai terasa bila merujuk data ekspor Juli 2025. Kondisi ini tercermin dari melemahnya laju pertumbuhan ekspor saat itu yang hanya sebsar 9,86% yoy dari US$ 22,53 miliar per Juli 2024 menjadi US$ 24,75 miliar miliar.

"Ekspor tumbuh 9,86% yoy pada Juli 2025 dibandingkan 11,3% yoy pada Juni 2025 dan 5,60% mom, mencerminkan aktivitas perdagangan yang lebih lemah di tengah tekanan terkait tarif," tutur Andry.

Meski begitu, Global Markets Economist Maybank Indonesia Myrdal Gunarto meyakini efek tarif Trump itu tak akan berdampak signifikan terhadap kinerja ekspor Indonesia ke depan karena masih tingginya permintaan pasokan barang-barang Indonesia ke AS.

Nilai ekspor Indonesia ke AS pada Juli 2025 bahkan masih meningkat sebesar 15,85% dibanding Juni 2025, yakni dari US$ 2,67 miliar menjadi US$ 3,10 miliar. Dibanding Juli 2024 juga masih terjadi kenaikan sebesar 38,88% karena saat itu hanya senilai US$ 2,23 miliar.

Pada periode Januari-Juli 2025, Amerika Serikat juga masih menjadi penyumbang utama surplus neraca perdagangan Indonesia dengan nilai sebesar US$ 12,13 miliar. Utamanya didorong oleh surplus perdagangan untuk komoditas mesin dan perlengkapan elektrik serta bagiannya US$ 2,64 miliar, pakaian dan aksesorinya (rajutan) US$ 1,57 miliar, dan alas kaki US$ 1,54 miliar.

"Karena demand untuk produk kita dari konsumen, ataupun juga supplier yang ada di Amerika Serikat itu kuat. Kalau kita lihat, Amerika merupakan negara penyumbang surplus dagang terbesar buat kita. Jadi, ya, walaupun ada kenaikan tarif jadi 19% kita lihat surplusnya masih oke," ucap Myrdal.

"Karena, kalaupun kita ada pos yang harus diambil dari Amerika, itu kan oil and gas. Oil and gas kita juga, kalau tadi lihat, data dari impor minyak itu enggak gede," tegasnya.


(arj/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ada Tarif Trump, Neraca Dagang RI Masih Surplus Lawan AS US$1,1 Miliar

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular