Tak Disangka! Ini Sosok Pencipta Pajak Dunia & Pelopornya di RI

Tim Redaksi, CNBC Indonesia
Selasa, 02/09/2025 07:25 WIB
Foto: Ilustrasi Pajak. (Dok. Freepik)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pajak kerap menjadi hal yang menakutkan bagi masyarakat. Ini karena sifatnya sebagai instrumen kebijakan yang mewajibkan masyarakat menyisihkan pendapatannya untuk negara.

Tidak sedikit negara di dunia yang memungut pajak cukup besar dari warganya. Alhasil, hal ini membuat warga kerap melakukan penghindaran pajak.


Adapun, pajak yang dipungut dari masyarakat digunakan untuk membiayai pengeluaran pemerintah dalam menyediakan layanan publik, pembangunan infrastruktur, serta membiayai berbagai program kesejahteraan dan pelayanan umum. Fungsinya antara lain sebagai sumber pendapatan negara, alat pengatur distribusi kekayaan, dan sarana untuk mengendalikan kegiatan ekonomi.

Secara sejarah, pajak hadir di tengah-tengah masyarakat karena buah ide dari Firaun pada Peradaban Mesir Kuno. Sejarah mencatat, sekitar 3000 Sebelum Masehi (SM) peradaban Mesir yang dipimpin oleh Firaun menciptakan sistem pungutan negara kepada rakyat, yang kini dikenal sebagai sistem pajak.

Alasan Firaun memungut pajak bertujuan untuk modal pembangunan dan menjaga ketertiban sosial. Firaun mengenakan pajak atas barang-barang, seperti gandum, tekstil, tenaga kerja, dan berbagai komoditas lain. Biasanya, hasil pungutan pajak dialihkan untuk membangun sektor serupa. Misalkan, jika menarik pajak atas beras, maka hasil pajaknya dialihkan untuk membangun lumbung beras.

Firaun tak menerapkan mekanisme sama rata dalam pemungutan pajak, tapi sistem penyesuaian. Maksudnya, besaran pajak disesuaikan dengan kemampuan finansial objek pajak. Ambil contoh ketika memungut pajak ladang. Firaun menetapkan pajak tinggi jika ladang tersebut sangat produktif atau memiliki hasil panen melimpah. Sementara yang non-produktif dikenakan pajak lebih rendah.

"Ladang-ladang dikenai pajak dengan cara yang berbeda-beda, dan tarifnya bergantung pada produktivitas ladang masing-masing dan kesuburan serta kualitas tanah," kata sejarawan Moreno Garcia kepada Smithsonian Magazine.

Selain itu, sistem pemungutan pajak juga bergantung pada sistem ketinggian Sungai Nil. Hal ini berdasarkan temuan arkeolog yang mengungkap adanya sistem nilometer. Sistem ini berupa garis yang digoreskan di sebuah tangga pengukur ketinggian air. Jika air naik di atas garis, maka berarti ladang tersebut dilanda kebanjikan dan penurunan hasil panen. Artinya, pajak yang dikenakan pun tak begitu besar. Begitu juga sebaliknya.

Seluruh pungutan pajak digunakan untuk pemenuhan kas negara. Semua rakyat dikenakan pajak tanpa terkecuali. Ketika ini terjadi, beban rakyat makin bertambah apalagi di Mesir Kuno juga terdapat sistem kerja rodi. Sistem ini membuat semua warga Mesir diharuskan bekerja kepada negara untuk proyek-proyek publik, seperti pengolahan ladang, penambangan, dan pembangunan infrastruktur.

Meski begitu, bukan berarti tak ada pengemplang pajak. Samuel Blankson dalam A Brief History Of Taxation (2007) mencatat, banyak orang tak ingin pendapatannya dipotong pajak, sehingga berpikir untuk mengakalinya.

Cara paling lazim, misalkan, kongkalikong antara pencatat dan subjek pajak. Subjek pajak sering tidak melaporkan penghasilan sebenarnya kepada pencatat supaya potongan pajaknya kecil. Selain itu, subjek pajak juga sering mengakali pengukuran, seperti mengakali timbangan agar potongan pajaknya rendah.

Pada akhirnya, warisan pemungutan atau potongan penghasilan yang dicetuskan oleh Firaun dari Mesir Kuno masih bertahan hingga sekarang. Sistem yang dicetuskannya pun menjadi inspirasi negara sebagai instrumen efektif penerimaan kas. Kini, semua itu lazim disebut pajak.

Orang Pertama Perkenalkan Pajak di RI

Setelah ribuan tahun dicetuskan Firaun, sistem pajak baru hadir di Indonesia pada 1811. Saat itu, pajak diperkenalkan oleh Thomas Stanford Raffles yang datang ke Hindia Belanda atas nama Kerajaan Inggris.

"Raffles (1811-1816) adalah penguasa Barat pertama yang meletakkan dasar finansial negara kolonial baru di Indonesia. Inggris, dan koloninya, menurut dia, harus dibiayai dengan pajak. Konsep pajak dilahirkan olehnya," tulis sejarawan Ong Hok Ham dalam Wahyu yang Hilang, Negeri yang Guncang (2018).

Secara teori, Raffles menganggap Inggris memiliki hak atas semua tanah menggantikan kepemilikan raja-raja di Jawa. Dengan demikian, para petani yang memiliki tanah atau bekerja di tanah orang harus membayar pajak tanah.

Hanya saja, praktiknya bukan seperti upeti melainkan berupa uang dan berlaku secara individual.

"Pajak tanah Raffles adalah atas petani individual dan bukan atas desa atau wilayah. Dan berupa uang," tulis Ong Hok Ham.

Meski begitu, Raffles tak merasakan hasil dari idenya menerapkan sistem pajak di Pulau Jawa. Sebab dia sudah harus pergi dari Hindia Belanda pada 1816. Setelahnya, pajak diterapkan secara ketat oleh para penguasa baru.

Kemudian, barulah tahun 1870, pemerintah kolonial memperkenalkan pajak pribadi, pajak usaha, hingga pajak jual beli.

Lalu, target pajak juga tak hanya menjerat pribumi jelata, tapi juga orang Eropa dan pribumi kaya raya. Namun, tetap saja, pribumi menyumbang pajak terbesar ke pendapatan pemerintah Hindia Belanda.

"Kira-kira dasawarsa pertama abad ke-20, penduduk pribumi yang sebagian besar terkena pajak tanah, menyumbang 60% penghasilan Hindia Belanda," tulis Ong.

Akan tetapi, sistem pajak era kolonial hanya menguntungkan pemerintah. Sebab tak ada timbal balik dari negara, sehingga menimbulkan kesan kalau rakyat diperas pemerintah. Beranjak dari permasalahan ini, negara modern mengubah konsep pajak. Tak hanya untuk menambah pendapatan, tetapi sebagai sarana pemerataan dan peningkatan kesejahteraan.

Masalahnya, 200 tahun lebih diterapkan di Indonesia, tujuan penerapan pajak masih jauh dari harapan. Sistem keadilan pajak masih dipertanyaan dan uang pajak yang seharusnya dinikmati publik belum maksimal selayaknya di banyak negara yang membebaskan biaya pendidikan, rumah sakit serta transportasi umum dari uang pajak.


(mfa/haa)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Pajak Kripto Tembus Rp1,55 T, Fintech Sumbang Rp3,88 T