
Empat Warga RI Tiba-Tiba Terbang ke Swiss, Gugat 'Raksasa' Ini

Jakarta, CNBC Indonesia - Empat WNI, warga Pulau Pari mengajukan tuntutan ganti rugi terhadap raksasa semen asal Swiss, Holcim. Mereka meminta pertanggungjawaban bisnis perusahaan tersebut atas kerusakan iklim yang timbul dari aktivitas perusahaan.
Lebih dari dua tahun setelah gugatan diajukan, dua dari empat penggugat telah datang ke Swiss untuk menghadiri sidang pendahuluan, yang akan menentukan apakah pengadilan akan mempertimbangkan gugatan tersebut atau tidak. Sidang tersebut akan berlangsung pada 3 September di Zug, lokasi kantor pusat perusahaan.
Para penggiat lingkungan memperingatkan, sebagian besar Pulau Pari yang memiliki luas 42 hektare (104 are) dapat tenggelam pada tahun 2050 akibat kenaikan permukaan air laut. Para penduduk pulau mengatakan, banjir air asin dalam beberapa tahun terakhir semakin sering terjadi, merusak rumah dan mata pencarian mereka.
Atas prediksi ini, keempat penggugat pun menuntut ganti rugi sebesar 3,600 franc Swiss (Rp 64,8 juta) per orang dari Holcim untuk kerusakan dan langkah-langkah perlindungan. Seperti penanaman mangrove dan pembangunan penghalang pemecah gelombang.
Salah seorang penggugat bernama Asmania, seorang ibu berusia 42 tahun, telah kehilangan tambak rumput lautnya akibat banjir. Banjir juga merusak tambak ikannya, membawa kotoran dan minyak yang membunuh anak-anak ikan.
"Tahun ini, saya mulai dengan 500 anakan ikan, dan sekarang hanya tersisa sembilan," katanya seraya menambahkan bahwa pendapatannya "adalah nol", dikutip dari AFP, Senin (1/9/2025).
Gugatan lingkungan terhadap pemerintah dan perusahaan bahan bakar fosil yang dianggap bertanggung jawab atas emisi CO2 terbesar telah melonjak dalam beberapa tahun terakhir. Namun kasus ini menandai tindakan pertama terhadap perusahaan semen besar.
Para penggiat lingkungan menyebut produksi semen bertanggung jawab atas sekitar 8% emisi CO2 global. Mereka menduga Holcim termasuk di antara 100 perusahaan dengan emisi CO2 terbesar di seluruh dunia.
Ini juga merupakan gugatan pertama yang diajukan oleh warga Indonesia terhadap perusahaan asing untuk kerusakan terkait iklim. Itu pun kasus pertama di mana perusahaan Swiss digugat atas dugaan perannya dalam kerusakan tersebut.
"Saya berharap kasus ini akan menjadi inspirasi... bagi para korban iklim di seluruh dunia," kata Asmania, kepada wartawan di Lausanne, Swiss, menjelang sidang.
Swiss Church Aid (HEKS), sebuah LSM yang membantu penduduk pulau, menekankan bahwa jumlah tersebut hanya setara dengan 0,42% dari biaya aktual. Hal tersebut sejalan dengan perkiraan bahwa Holcim bertanggung jawab atas 0,42% emisi CO2 industri global sejak tahun 1750.
Selain itu, para penggugat menuntut pengurangan emisi gas rumah kaca Holcim sebesar 43% pada tahun 2030 dan 69% pada tahun 2040. Dengan HEKS mengatakan ini sejalan dengan tujuan Perjanjian Iklim Paris untuk membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat Celsius, dibandingkan dengan era pra-industri.
Sementara itu, Holcim menegaskan bahwa mereka sangat berkomitmen untuk mengambil tindakan terhadap iklim. Namun mereka berpendapat bahwa masalah siapa yang diizinkan untuk memancarkan berapa banyak CO2 seharusnya menjadi urusan legislatif dan bukan pertanyaan untuk pengadilan sipil.
(tps/șef)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ramai Orang Kaya AS Buka Rekening Bank di Swiss, Fenomena Apa?
