RI Menang Gugatan Biodiesel di WTO, Bagaimana Nasib Nikel?
Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia baru saja mencatat kemenangan di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) terkait sengketa biodiesel melawan Uni Eropa (UE). Namun, perhatian kini beralih pada sengketa lain yang juga krusial bagi perekonomian nasional, yakni kasus nikel.
Sekretaris Jenderal Kementerian Perdagangan (Kemendag) Isy Karim menegaskan, pemerintah tidak akan tinggal diam. Sengketa nikel, yang dikenal dengan DS592, disebutnya tetap diperjuangkan dengan penuh keseriusan.
"Sengketa nikel tentu kita tetap perjuangkan. Setiap sengketa punya kekhususan sendiri. Jadi sulit untuk mengaitkan sengketa satu dengan yang lainnya. Namun demikian, kita berharap untuk sengketa (nikel) DS592 kita dapat meraih hasil positif dari sengketa tersebut, dan membawa dampak positif terhadap industri nikel dan turunannya," kata Isy kepada CNBC Indonesia, Senin (25/8/2025).
Perlu diketahui, Panel WTO pada Jumat (22/8/2025) telah menegaskan, Uni Eropa (UE) bertindak inkonsisten dengan aturan WTO Agreement on Subsidies and Countervailing Measures (WTO ASCM) dalam sejumlah aspek kunci.
Dengan keputusan ini, Indonesia dinyatakan menang dalam sengketa perdagangan DS618, terkait penerapan bea imbalan atau countervailing duties terhadap produk biodiesel asal Indonesia. Panel WTO DS618 sendiri beranggotakan perwakilan dari Afrika Selatan, Meksiko, dan Belgia.
"Putusan ini membuktikan konsistensi Indonesia dalam mengikuti aturan perdagangan internasional. Kemenangan ini membuktikan bahwa Pemerintah Indonesia konsisten mematuhi aturan perdagangan internasional tanpa memberlakukan kebijakan perdagangan yang distortif bagi perdagangan internasional, sebagaimana dituduhkan oleh UE," ujar Budi dalam keterangan resminya.
Budi pun menegaskan, "Kami mendesak UE untuk segera mencabut bea masuk imbalan yang tidak sesuai dengan aturan WTO ini."
Panel WTO dalam sengketa DS618 menolak sejumlah argumen UE, termasuk klaim bahwa pemerintah Indonesia mengarahkan pelaku usaha untuk menjual minyak sawit ke produsen biodiesel dengan harga murah. Panel juga menilai kebijakan bea keluar dan pungutan ekspor sawit tidak bisa dikategorikan sebagai subsidi, serta menyatakan UE gagal membuktikan adanya ancaman kerugian material terhadap produsen biodiesel Eropa.
"Dengan demikian, Panel WTO menilai bahwa bea masuk imbalan yang diberlakukan UE terhadap produk biodiesel Indonesia tidak didasarkan pada bukti yang objektif," jelas Budi.
Seperti diketahui, pada November 2022 lalu, Indonesia dinyatakan kalah dalam gugatan Uni Eropa di Badan Penyelesaian Sengketa atau Dispute Settlement Body (DSB) WTO terkait larangan ekspor bijih nikel sejak awal 2020.
Setidaknya, ada beberapa peraturan perundang-undangan yang dinilai melanggar ketentuan WTO. Pertama, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba).
Kedua, Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara.
Ketiga, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 96 Tahun 2019 tentang Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan Hasil Pengolahan dan Pemurnian. Keempat, Peraturan Menteri ESDM Nomor 7 Tahun 2020: Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan Pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
(pgr/pgr)