Netanyahu Buka "Perang" Baru dengan Tetangga RI, Sebut Pemimpin Lemah
Jakarta, CNBC Indonesia - Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu kembali melontarkan kritik tajam terhadap Perdana Menteri Australia Anthony Albanese terkait keputusan Canberra mengakui negara Palestina. Netanyahu menilai keputusan tersebut akan merusak reputasi politik Albanese secara permanen.
"Saya pikir rekam jejaknya selamanya ternoda oleh kelemahan yang ia tunjukkan dalam menghadapi monster teroris Hamas ini," kata Netanyahu dalam wawancara dengan Sky News Australia yang ditayangkan Kamis (21/8/2025).
Sebelumnya, ia bahkan menyebut Albanese sebagai "politisi lemah yang mengkhianati Israel dan mengabaikan orang Yahudi Australia."
Hubungan Australia-Israel memanas sejak pemerintahan Albanese mengumumkan pengakuan bersyarat terhadap Palestina pekan lalu. Kebijakan tersebut mengikuti langkah Prancis, Inggris, dan Kanada.
Albanese merespons santai serangan Netanyahu. "Saya tidak menanggapi hal-hal ini secara pribadi. Saya memperlakukan pemimpin negara lain dengan hormat," ujarnya pada Rabu (20/8/2025).
Di sisi lain, Dewan Eksekutif Yahudi Australia meminta kedua pemimpin menurunkan tensi. "Kami menulis untuk mengungkapkan kekecewaan dan keprihatinan kami yang mendalam atas 'perang kata-kata' baru-baru ini," tulis dewan dalam surat terbuka.
"Jika sesuatu perlu dikatakan secara publik, hal itu harus disampaikan dengan bahasa yang terukur dan pantas," tambah mereka.
Ketegangan juga meningkat setelah Israel mencabut visa diplomat Australia untuk Otoritas Palestina. Langkah itu diambil menyusul keputusan Canberra membatalkan visa anggota parlemen Israel karena dianggap provokatif.
Netanyahu sendiri tengah menghadapi tekanan global atas operasi militer Israel di Gaza yang telah menewaskan lebih dari 60.000 warga Palestina, menurut Kementerian Kesehatan di wilayah tersebut. Mayoritas penduduk Gaza kini mengungsi, sementara PBB memperingatkan risiko kelaparan massal.
Militer Israel pada Rabu mengumumkan dimulainya operasi besar di Kota Gaza dengan mengerahkan puluhan ribu pasukan cadangan. Meski begitu, banyak sekutu Israel mendesak Netanyahu mempertimbangkan gencatan senjata baru, setelah serangan Hamas pada Oktober 2023 menewaskan 1.200 orang dan menyandera 251 lainnya.
(luc/luc)