
Selain Rumahkan Karyawan, 6.000 Lowongan Pabrik Keramik Terancam Batal

Jakarta, CNBC Indonesia - Di momen hari kemerdekaan, pelaku usaha di bidang manufaktur khususnya penerima harga gas bumi tertentu (HGBT) dikejutkan dengan pembatasan kuota pemanfaatan HGBT. Kebijakan tersebut bahkan mengancam penyerapan terhadap ribuan pekerja yang semula bakal berlangsung hingga 2027 mendatang.
"Rencananya akan ada ekspansi pabrik keramik, target kita selesai di awal tahun 2027 dengan investasi Rp 8 triliun untuk bangun pabrik dan lain sebagainya dengan tambahan produksi 90 juta m2, ini butuh sekitar 6.000 karyawan tapi ya terancam batal karena harga gas ini," kata Ketua Umum Asosiasi Aneka Industri Keramik (Asaki), Edy Suyanto kepada CNBC Indonesia, Selasa (19/8/2025).
Selain terancam menyerap ribuan pekerja, dua pabrik tableware di Tangerang juga bahkan sudah merumahkan 700 pegawainya. Keputusan tersebut karena industri keramik yang berada di Jawa bagian Barat akan mengalami pembatasan pemakaian gas harian mulai tanggal 13 Agustus hingga 31 Agustus 2025
Lewat kebijakan ini, industri hanya diperbolehkan memanfaatkan volume gas HGBT sebanyak 48% dan selebihnya dikenakan Surcharge 120% dari harga $14,8usd/mmbtu setara $17,8usd/mmbtu. Padahal HGBT hanya $6-7usd/mmbtu, sehingga ada kenaikan dua kali lipat atau lebih.
"Padahal udah kebijakan-kebijakan pro Industri kaya BMAD (Bea Masuk Anti Dumping), BMTP (Bea Masuk Tindakan Pengamanan) dan SNI (Standar Nasional Indonesia) Wajib untuk keramik, ini sebelumnya berdampak positif, ada optimisme dari Industri Keramik Nasional, tapi ya terganggu lagi karena gangguan suplai gas ini," sebut Edy.
Adapun setelah munculnya kebijakan HGBT, ada banyak multiplier effect terhadap industri keramik, salah satunya Indonesia menempati posisi 4 besar produsen keramik dunia di bawah China, India dan Brazil, sedangkan Vietnam berada di posisi 5. Pasalnya total investasi kapasitas baru senilai Rp 28 triliun sepanjang 2022-2027 dengan total kapasitas produksi baru keramik 160 juta m2.
Namun, Juru Bicara Kementerian Perindustrian, Febri Hendri Antoni Arief mengingatkan penurunan daya saing akibat lonjakan harga gas akan memengaruhi harga produk akhir.
"Jika bahan baku naik, otomatis harga produk juga naik. Akibatnya, daya saing industri nasional melemah dan kalah bersaing dengan produk dari luar negeri," kata Febri.
Meski negara kehilangan sebagian pendapatan dari program HGBT, nilai tambah yang dihasilkan dari produk hilir jauh lebih besar.
"Setiap Rp 1 yang hilang di hulu bisa dikompensasi Rp 3 dari penciptaan nilai tambah diproduk hilir industri pengguna HGBT. Karena itu, lebih bijak bila pendapatan negara difokuskan pada pajak produk hilir hasil hilirisasi gas HGBT ini, bukan pada gas di hulu," paparnya.
(hoi/hoi)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Pasokan Gas untuk Domestik Nyata Turun, Industri Tuding Ini Masalahnya
