Negara-Negara Arab dan Muslim Respons Rencana "Israel Raya" Netanyahu
Jakarta, CNBC Indonesia - Koalisi negara-negara Arab dan Muslim menyatakan kecaman keras terhadap pernyataan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu yang secara terbuka mendukung gagasan tentang "Israel Raya". Pernyataan itu dianggap sebagai ancaman langsung bagi keamanan kawasan serta pelanggaran serius terhadap hukum internasional.
Kecaman tersebut dituangkan dalam pernyataan bersama 31 negara Arab dan Islam bersama Liga Arab. Mereka menilai pernyataan Netanyahu mencerminkan "pengabaian serius terhadap aturan hukum internasional serta fondasi hubungan internasional yang stabil".
"Pernyataan itu juga merupakan ancaman langsung terhadap keamanan nasional Arab, kedaulatan negara-negara, serta perdamaian dan keamanan regional maupun internasional," tulis pernyataan bersama tersebut, dikutip dari Al Jazeera, Minggu (17/8/2025).
Pernyataan Netanyahu muncul dalam wawancara dengan Sharon Gal di saluran Israel i24NEWS yang ditayangkan Selasa lalu. Saat ditanya apakah ia meyakini visi tentang "Israel Raya", Netanyahu menjawab tegas: "Sangat meyakini."
Konsep "Israel Raya" yang banyak dianut kalangan ultranasionalis Israel dipahami sebagai visi ekspansionis yang mencakup klaim atas wilayah Tepi Barat, Gaza, sebagian Lebanon, Suriah, Mesir, dan Yordania.
Selain mengecam Netanyahu, negara-negara Arab dan Islam juga menyoroti pernyataan Menteri Keuangan Israel Bezalel Smotrich pada Kamis lalu yang berjanji akan melanjutkan ekspansi permukiman di Tepi Barat yang diduduki.
"Langkah itu adalah pelanggaran nyata terhadap hukum internasional dan serangan terang-terangan terhadap hak tak terpisahkan rakyat Palestina untuk mewujudkan negara merdeka dan berdaulat dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kota," kata pernyataan tersebut.
Koalisi itu menegaskan Israel tidak memiliki kedaulatan atas wilayah Palestina yang diduduki. Mereka juga menyinggung pernyataan Smotrich yang mengatakan akan menyetujui ribuan unit perumahan dalam proyek permukiman ilegal yang lama tertunda di Tepi Barat. Smotrich bahkan menyatakan langkah tersebut "mengubur ide negara Palestina".
Pernyataan itu muncul di tengah agresi militer Israel yang telah berlangsung 22 bulan di Gaza, menewaskan sedikitnya 61.827 orang dan melukai 155.275 lainnya. Pekan lalu, Kabinet Keamanan Israel menyetujui rencana Netanyahu untuk sepenuhnya menduduki Kota Gaza.
Netanyahu juga kembali menyerukan agar warga Palestina "dibiarkan meninggalkan Gaza". "Kami tidak mengusir mereka, tetapi kami mengizinkan mereka untuk pergi," katanya.
Aktivis hak asasi mengecam ucapan tersebut dan menyebutnya sebagai bentuk lain dari "pembersihan etnis" Gaza. Wilayah berpenduduk 2,1 juta jiwa itu sebagian besar dihuni oleh pengungsi dan keturunan pengungsi sejak Nakba 1948, ketika lebih dari 700.000 warga Palestina terusir dari tanah mereka yang kemudian menjadi negara Israel.
Sebelumnya, gagasan untuk merelokasi penduduk Gaza juga pernah dilontarkan oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Namun wacana tersebut selalu memicu kekhawatiran akan terjadinya pengusiran paksa, serta mendapat kecaman luas dari komunitas internasional.
(luc/luc)