Kelaparan, Putus Sekolah & Jadi Yatim, Ini Realita Anak-Anak di Gaza

linda hasibuan, CNBC Indonesia
16 August 2025 10:30
A Palestinian boy carries a stroller at the site of a morning Israeli strike on a house, in Gaza City, August 8, 2025. REUTERS/Mahmoud Issa     TPX IMAGES OF THE DAY
Foto: REUTERS/Mahmoud Issa
Daftar Isi

Jakarta, CNBC Indonesia - Selama dua tahun terakhir, puluhan ribu anak di wilayah Gaza, Palestina telah terbunuh, terluka, dan menjadi yatim piatu. Masa kanak-kanak yang indah tak lagi mereka rasakan dan menyisakan trauma mendalam.

Seperti yang dirasakan Rahma Abu Abed berusia 12 tahun yang mengaku rumahnya di Gaza Selatan telah rata dengan tanah akibat perang dengan Israel. Sebagian besar pakaiannya tertimbun reruntuhan.

Rahma sekarang tinggal di gudang peralatan memancing bersama orang tua dan empat saudara kandungnya, yang berbagi tempat dengan beberapa keluarga pengungsi lainnya. Ia biasanya makan satu kali sehari.

Melansir laporanĀ The New York Times, setelah 22 bulan kondisi perang, masa kanak-kanak di Gaza hampir tidak terasa. Terdapat sekitar 1,1 juta anak di wilayah tersebut dan membutuhkan dukungan kesehatan mental atau psikososial, menurut penelitian Perserikatan Bangsa-Bangsa.

PBB mengatakan bahwa sebagian besar dari mereka telah putus sekolah selama hampir dua tahun. Setelah blokade pangan Israel selama 11 minggu tahun ini, semua anak di bawah usia 5 tahun berisiko mengalami malnutrisi akut.

Operasi militer Israel, yang dimulai setelah serangan yang dipimpin Hamas di Israel selatan pada 7 Oktober 2023, telah menewaskan lebih dari 18.000 warga Palestina di bawah usia 18 tahun, menurut otoritas kesehatan Gaza, yang tidak membedakan antara warga sipil dan kombatan.

Investigasi New York Times tahun lalu menemukan bahwa sejak dimulainya perang, militer Israel telah secara signifikan melonggarkan perlindungan yang dimaksudkan untuk melindungi warga sipil, termasuk anak-anak.

"Tanda-tanda normal masa kanak-kanak telah hilang, digantikan oleh kelaparan, ketakutan, dan trauma yang menguras tenaga. Perang ini dilancarkan seolah-olah masa kanak-kanak tidak memiliki tempat di Gaza," kata James Elder, juru bicara UNICEF yang secara rutin mengunjungi Gaza selama perang.

Militer Israel menyatakan bahwa mereka berupaya meminimalkan kerugian bagi semua warga sipil, termasuk anak-anak, dan menyalahkan militan Hamas karena bersembunyi di antara mereka dan terkadang bersama keluarga mereka sendiri.

Tentara Pasukan Pertahanan Israel (IDF) melaporkan melihat anak-anak digunakan sebagai pengintai oleh kelompok militan Palestina, yang juga menculik dan membunuh anak-anak pada 7 Oktober 2023.

"Kerusakan yang disengaja terhadap warga sipil, terutama anak-anak, dilarang keras dan sepenuhnya bertentangan dengan hukum internasional dan perintah mengikat IDF," kata militer dalam sebuah pernyataan.

Hidup dalam kelaparan

Kehidupan di Gaza telah dipenuhi kelaparan. Israel telah membatasi pasokan makanan ke wilayah kantong itu sejak awal perang, dan situasinya semakin memburuk sejak Maret, ketika Israel memulai blokade.

Pada akhir Mei, Israel mengizinkan sebagian distribusi makanan kembali ke wilayah tersebut, dengan menggunakan kontraktor swasta untuk mendistribusikan makanan dari beberapa lokasi.

Namun bagi keluarga seperti Rahma, hal itu tidak menyelesaikan masalah. Sebab untuk mencapai lokasi-lokasi tersebut sangat berbahaya dan melelahkan, bahkan sebagian lokasi dibangun di belakang garis militer Israel dan jauh dari tempat tinggal kebanyakan orang.

Ratusan orang telah ditembak dan dibunuh oleh tentara Israel saat mereka mencoba mencapai lokasi tersebut, dan mereka yang berhasil sampai di sana tanpa cedera seringkali mendapati makanan telah diambil.

Meskipun beberapa makanan tersedia di pasar, harganya seringkali tidak terjangkau bagi keluarga seperti Rahma; orang tuanya, seperti sebagian besar warga Gaza, tidak memiliki pekerjaan. Meskipun harga pangan telah turun dalam beberapa hari terakhir setelah peningkatan pengiriman, harganya masih sangat tinggi.

Pada 13 Agustus, menurut Kamar Dagang dan Industri Gaza, harga tepung lebih dari 10 kali lipat harga sebelum perang.

Untuk meringankan krisis pangan, yang menuai kecaman global, Israel baru-baru ini melonggarkan pembatasan konvoi pangan PBB dan mengizinkan angkatan udara asing untuk menjatuhkan paket bantuan melalui udara di atas Gaza.

Dunia tanpa sekolah

Di Gaza saat ini, permainan berpura-pura sebagai guru merupakan cara paling dekat bagi kebanyakan anak untuk mendapatkan sekolah. Sekitar 95 persen sekolah rusak akibat pertempuran, menyebabkan sebagian besar anak-anak kehilangan pendidikan selama hampir dua tahun ajaran, menurut data PBB.

Banyak sekolah telah diubah menjadi kamp pengungsian. Israel secara teratur menyerang mereka, dengan mengatakan bahwa para pemimpin Hamas telah menggunakannya sebagai kedok.

Di kamp pengungsian, saat ini tidak ada sekolah. Selama beberapa bulan, para relawan di kamp tersebut menjalankan ruang kelas darurat, mengajar kelas ad hoc di tenda, tetapi sistem itu berakhir ketika gencatan senjata terakhir berakhir pada bulan Maret.

PBB mencoba menyediakan pengajaran dasar melalui portal daring. Beberapa guru juga mengirimkan materi pendidikan kepada orang tua melalui WhatsApp. Namun, bagi beberapa keluarga, internet seringkali tidak dapat diakses.

Sulit untuk terhubung ke jaringan telepon dalam waktu lama, dan baterai telepon cepat habis. Tak jarang, beberapa orang tua lebih memilih mengajarkan anaknya sendiri.

Masa kecil tanpa orang tua

Israel terus merampas masa kecil dari anak-anak Gaza. Tak cukup dengan membunuh tubuh dan mengebiri pendidikan, mereka juga mencabut anak-anak dari pelukan orang tua.

Di salah satu halaman buku catatannya, Sajed al-Ghalban yang berusia 10 tahun, ia menggambar ibu dan ayahnya di rumah lama mereka di Khan Younis, Gaza selatan. Di halaman lain, terdapat gambar ibunya yang sedang mengajaknya ke kios sayur.

Inilah pelukan terdekat yang bisa Sajed dapatkan dari orang tuanya. Ayahnya, Muhammad, dan ibunya, Shireen, tewas dalam serangan yang juga menghancurkan rumah mereka pada minggu ketiga perang di tahun 2023.

Militer Israel mengatakan rumah itu telah digunakan untuk tujuan teror dan menolak berkomentar apakah Muhammad al-Ghalban adalah targetnya. Salah satu bibi Sajed yang masih hidup, Amany Abu Salah, mengatakan ayah Sajed tidak memiliki hubungan dengan kelompok militan Hamas.Ā 

Sajed selamat dari serangan itu tanpa cedera, tetapi saudara perempuannya, Alma, yang kini berusia 12 tahun, dan saudara laki-lakinya, Abdallah, yang kini berusia 8 tahun, mengalami cedera kepala, menurut video setelah kejadian dan kerabat mereka yang selamat. Alma kemudian dievakuasi ke Turki untuk perawatan, ungkap kerabat kepada The Times.

Selama hampir dua tahun, Sajed dan Abdallah dirawat oleh seorang bibi lain. Kemudian, pada bulan Juli, bibi tersebut tewas dalam sebuah serangan di tenda terdekat yang juga melukai kedua anak laki-laki tersebut, menurut Abu Salah, bibi yang selamat. Kini, mereka tinggal di tenda lain bersama Abu Salah dan ketiga anaknya.

Kedua bersaudara itu termasuk di antara sedikitnya 40.000 anak yang telah kehilangan sedikitnya satu orang tua sejak dimulainya perang, menurut statistik yang diterbitkan oleh Otoritas Palestina di Tepi Barat, yang mempekerjakan ribuan pejabat di Gaza.

Anak-anak tersebut tinggal di sebuah perkemahan yang dibangun oleh para relawan lokal, terutama untuk merawat mereka yang yatim piatu akibat perang; di kamp ini saja, terdapat sekitar 1.200 anak yatim piatu.

Tanpa orang tua dan seorang adik laki-laki yang harus dirawat, Sajed berada dalam kondisi terombang-ambing antara masa kanak-kanak dan dewasa dini. Terkadang ia menggambar gambar-gambar kekanak-kanakan di buku catatannya. Atau ia bermain kelereng dan petak umpet dengan anak-anak lain di kamp. Namun, ia juga semakin berupaya membantu bibinya menjaga keutuhan rumah tangga sementara mereka.

"Sayalah orangnya sekarang. Saya akan pergi membeli apa yang kita butuhkan," kata Sajed kepada bibinya.


(fsd/fsd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Israel Makin Kejam, 9.000 Anak di Gaza Alami Kelaparan Akut

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular