KPPU Jatuhkan Denda Terbesar Dalam Sejarah, Pengusaha Bilang Ini
Jakarta, CNBC Indonesia - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menjatuhkan sanksi denda kepada 3 (tiga) Terlapor dari kelompok usaha Sany Group atas pelanggaran integrasi vertikal dan penguasaan pasar dalam penjualan truk merek Sany di Indonesia, nilai dendanya sebesar Rp449 miliar dan menjadi yang terbesar dalam sejarah denda putusan KPPU sejak berdiri 1999.
Ada dua pasal yang dikenakan, yakni Dugaan Pelanggaran Pasal 14 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang berkaitan dengan integrasi vertikal dan Pasal 19 Huruf a, b, c,dan d yang berkaitan dengan penguasaan pasar.
Ketua Kebijakan Publik Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) sekaligus Ketua KPPU periode 2003-2005 Sutrisno Iwantono menyebut kasus ini menjadi pelajaran bagi pelaku usaha lainnya.
"Sekarang apa sih sebenarnya praktik yang dianggap melanggar? Kalau itu pasal 14, ini perlu diketahui juga oleh pelaku usaha. Jadi orang-orang dengan bisnis integrasi secara vertikal itu tidak boleh kemudian mematikan pelaku-pelaku lain yang menjadi pesaingnya," kata Iwan, sapaan akrabnya kepada CNBC Indonesia, Jumat (8/8/2025).
"Contoh katakan punya pabrik minyak, punya juga distributor. Ketika menyalurkan kepada distributor, tidak boleh melakukan diskriminasi kepada distributor lain yang menjadi pesaing dari anak perusahaan yang bergerak di bidang distributor tadi. Tidak bisa kita melakukan program istimewa, kasih harga yang khusus atau diberikan istimewa tertentu," lanjutnya.
Sistem pembayaran juga tidak boleh ada diskriminasi, ketika anak perusahaannya diberi fasilitas tertentu tapi yang lainnya tidak, maka perusahaan lain yang menjadi pesaing dari anak perusahaan kita itu harus diperlakukan yang sama dan adil.
Ini adalah perilaku-perilaku yang harus dijaga oleh industri yang melakukan integrasi vertikal. Termasuk jika industri itu punya grup bisnis di bidang perbankan atau keuangan, sehingga menguntungkan kepada anak perusahaan dan itu bisa menyebabkan matinya pesaing dari anak perusahaan tersebut.
"Karena mempunyai line bisnis yang terintegrasi, sedemikian kuat sehingga mempunyai posisi yang sangat kuat di pasar, sangat dominan, kemudian bisa menerapkan harga semaunya yang merugikan konsumen, dengan cara misalnya membunuh pesaing-pesaing kita di pasar sehingga konsumen tidak punya pilihan lagi," sebut Iwan.
Kemudian untuk Pasal 19 yakni satu perusahaan tidak boleh menolak atau menghalangi perilaku usaha lain untuk melakukan kegiatan usaha di pasar yang sama. Misalnya di industri otomotif, pelaku usaha itu tidak boleh menyebabkan kondisi sehingga pelaku usaha lain itu tidak bisa masuk ke pasar.
"Nah ini ada kemungkinan PT. Sanny itu karena dia punya dealer sendiri, ya mungkin ya, mungkin dia melakukan penghalang-halangan, atau menghalangi konsumen untuk berhubungan dengan pelaku usaha tertentu. Dan membatasi peredaran peredaran atau penjualan dari barang. Karena vertikal dan punya kekuatan pasar, maka menggunakan kekuatan itu untuk membatasi peredaran dari orang dan itu diskriminasi," ujar Iwan.
Padahal tidak boleh melakukan diskriminasi antara satu perusahaan dengan perusahaan yang lain tanpa disertai dengan alasan yang logis. Jika terbukti maka bisa terkena denda yang tidak sedikit, Iwantono pun menyampaikan rumus perhitungan dendanya.
"Rumusan denda adalah maksimum 10% dari omset selama tahun peranggaran, misalnya omsetnya itu Rp 8 triliun setahun, kemudian pelanggarannya selama 2 tahun, berarti omsetnya jadi Rp 16 triliun. Dendanya 10% sampai Rp 1,6 triliun maksimum ya. Atau opsi lain yaitu 50% dari laba bersih, 50% nya ini selama tahun pelanggaran juga," ujar Iwantono.
Kasus PT Sanny menjadi momentum besar karena selain menjadi kasus dengan sanksi terbesar, juga karena pelaku usaha dengan bisnis banyak anak perusahaan atau vertikal juga banyak di Indonesia.
"Saya tidak tahu persis bagaimana pembuktian KPPU terhadap putusannya. Tetapi saya menyampaikan norma umum yang harus dipahami oleh pelaku usaha yang punya posisi bisnis integrasi, supaya nanti tidak terkena kasus semacam Sanny. Memang Sanny ini belum inkrah, dia masih bisa mengajukan keberatan ke pengadilan Niaga," kata Iwantono.
Adapun Putusan atas Perkara Nomor 18/KPPU-L/2024 tentang Dugaan Pelanggaran terkait Penjualan Truk Merek Sany tersebut dibacakan dalam Sidang Majelis Komisi yang dipimpin oleh Moh. Noor Rofieq sebagai Ketua Majelis, serta M. Fanshurullah Asa dan Rhido Jusmadi masing-masing sebagai Anggota Majelis Selasa (5/8/2025).
"Putusan dan denda merupakan denda terbesar di sepanjang sejarah penegakan hukum persaingan usaha, setelah Google. Ini patut menjadi pelajaran bagi semua pelaku usaha, baik penanaman modal asing atau dalam negeri, bahwa KPPU tidak main-main dalam memberikan sanksi kepada pelaku usaha yang melakukan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Karena praktik tersebut tidak menciptakan efisiensi perekonomian nasional dan lingkungan bisnis yang sama atau adil kepada seluruh pelaku usaha," tegas Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Kerja Sama KPPU, Deswin Nur dalam keterangan tertulis, Rabu (5/8/2025).
(hoi/hoi)