
Panas Perang Saudara! Sudan Bom Pesawat UEA, 40 Tentara Bayaran Tewas

Jakarta, CNBC Indonesia - Sebuah pesawat milik Uni Emirat Arab (UEA) yang membawa puluhan tentara bayaran asal Kolombia dihancurkan oleh serangan udara Angkatan Udara Sudan saat mendarat di bandara yang dikuasai pasukan paramiliter Rapid Support Forces (RSF) di Nyala, Darfur. Serangan tersebut menewaskan sedikitnya 40 orang.
Seorang sumber militer Sudan yang tidak ingin disebutkan namanya mengatakan kepada AFP bahwa pesawat tersebut "dibom dan dihancurkan sepenuhnya" di bandara Nyala, wilayah yang sejak beberapa bulan terakhir menjadi target serangan udara berulang oleh tentara Sudan yang tengah berperang dengan RSF sejak April 2023.
Hingga kini, belum ada komentar resmi dari pihak RSF maupun pemerintah UEA terkait insiden tersebut.
Menurut laporan TV pemerintah, pesawat tersebut lepas landas dari sebuah pangkalan militer di kawasan Teluk dan membawa puluhan petempur asing serta perlengkapan militer yang ditujukan untuk RSF.
Pihak militer Sudan yang dipimpin oleh Jenderal Abdel Fattah al-Burhan, selama ini menuduh UEA telah memasok senjata canggih, termasuk drone, kepada RSF melalui bandara Nyala. Tuduhan ini berkali-kali dibantah oleh pihak Abu Dhabi, meskipun telah banyak laporan dari para ahli PBB, pejabat politik Amerika Serikat, dan organisasi internasional yang menyebutkan keterlibatan UEA.
Citra satelit yang dirilis oleh Humanitarian Research Lab dari Universitas Yale menunjukkan adanya drone jarak jauh buatan China di bandara Nyala, ibu kota negara bagian Darfur Selatan. Pada Juni lalu, tiga saksi mata mengatakan kepada AFP bahwa sebuah pesawat kargo juga sempat dibom tak lama setelah mendarat di bandara tersebut.
Pada Senin (4/8/2025), pemerintah Sudan yang berpihak pada militer menuduh UEA merekrut dan membiayai tentara bayaran Kolombia untuk bertempur di pihak RSF. Pemerintah mengeklaim memiliki dokumen yang membuktikan keterlibatan tersebut.
Keberadaan petempur Kolombia di Darfur sendiri sudah dilaporkan sejak akhir 2024 dan telah dikonfirmasi oleh para ahli PBB.
Presiden Kolombia Gustavo Petro menyatakan bahwa pemerintahnya sedang menyelidiki jumlah warganya yang menjadi korban tewas dalam serangan tersebut. "Kami akan lihat apakah kami bisa memulangkan jenazah mereka," tulis Petro di platform media sosial X.
Dalam unggahan yang sama pada Rabu, Petro juga menyatakan niatnya untuk melarang aktivitas tentara bayaran dari Kolombia. Ia menyebut praktik itu sebagai "perdagangan manusia yang diubah menjadi komoditas untuk membunuh."
Koalisi Pasukan Gabungan, kelompok pro-militer yang beroperasi di wilayah Darfur, dalam laporan pekan ini menyatakan bahwa lebih dari 80 tentara bayaran asal Kolombia bertempur di pihak RSF di El-Fasher - satu-satunya ibu kota negara bagian di Darfur yang masih berada di bawah kendali tentara. Beberapa dari mereka dilaporkan tewas dalam serangan drone dan artileri yang dilakukan militer Sudan.
Militer juga merilis rekaman video yang diklaim sebagai dokumentasi keberadaan "tentara bayaran asing yang diyakini berasal dari Kolombia".
Pada Desember tahun lalu, pemerintah Sudan mengatakan bahwa Kementerian Luar Negeri Kolombia telah menyampaikan penyesalan atas keterlibatan beberapa warga negaranya dalam konflik bersenjata di negara Afrika tersebut.
Tentara bayaran Kolombia, yang banyak merupakan mantan prajurit dan bekas gerilyawan, sebelumnya juga diketahui terlibat dalam konflik global lain, termasuk saat direkrut oleh UEA untuk operasi militer di Yaman dan kawasan Teluk.
Adapun perang Sudan yang telah memasuki tahun ketiga ini telah menewaskan puluhan ribu orang, membuat 13 juta warga mengungsi, dan menyebabkan krisis kelaparan serta pengungsian terburuk di dunia saat ini.
(luc/luc)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Video: Tentara Sudan Deklarasi Rebut Ibu Kota Khartoum, RSF Diusir
