Bos Pengusaha Mal Akui Tarif Sewa Naik, Langsung Bikin Tenant Cabut?

Martyasari Rizky, CNBC Indonesia
04 August 2025 14:05
Sejumlah pengujung melintas di salah satu mal di kawasan Jakarta Selatan, Senin, (28/7/2025). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Sejumlah pengujung melintas di salah satu mal di kawasan Jakarta Selatan, Senin, (28/7/2025). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonzus Widjaja mengungkapkan, tarif sewa gerai di pusat perbelanjaan mulai mengalami kenaikan secara bertahap setelah lebih dari tiga tahun tak bergerak akibat pandemi COVID-19.

"Sudah berangsur mulai naik sejak setelah lebih dari tiga tahun tidak naik akibat pandemi COVID-19," ujar Alphonzus kepada CNBC Indonesia, Senin (4/8/2025).

Dia menjelaskan, besaran kenaikan tarif dilakukan secara bertahap dan masih dalam batas wajar. "Tarif sewa naik secara bertahap dengan besaran single digit saja, yaitu minimum persentase inflasi sampai dengan maksimal 10%," jelasnya.

Di tengah tren kenaikan ini, muncul pertanyaan soal makin banyaknya pelaku usaha membuka gerai di luar mal atau dengan konsep stand alone.

Apakah ini akibat langsung dari kenaikan tarif? Benarkan ritel-ritel atau tenant yang ada di mal satu per satu pergi efek tarif sewa naik?

Alphonzus tak secara langsung mengaitkan dua hal itu. Namun ia mengakui, konsep stand alone memang berkembang pesat dalam beberapa waktu terakhir. Menurutnya, pertumbuhan ini lebih dipicu oleh kebutuhan fleksibilitas.

"Beberapa waktu terakhir ini dan khususnya pada saat pandemi memang ritel dengan konsep stand alone mengalami pertumbuhan ataupun perkembangan yang cukup banyak dikarenakan faktor fleksibilitas dan kemudahan," ungkap dia.

Meski begitu, Alphonzus menegaskan, pusat perbelanjaan masih tetap menjadi pilihan utama masyarakat karena menawarkan keunggulan berbeda, khususnya dari sisi keragaman tenant.

"Pusat perbelanjaan memiliki kategori penyewa yang lebih lengkap dan lebih bervariasi," katanya.

"Kelengkapan dan keragaman penyewa akan menyediakan pengalaman (experience dan journey) berbelanja yang lebih lengkap bagi para pelanggan," sambung dia.

Di sisi lain, mal tetap ramai pengunjung meski daya beli, khususnya masyarakat kelas menengah bawah, belum sepenuhnya pulih. Hal ini juga melahirkan fenomena Rojali dan Rohana, yakni pengunjung yang hanya datang melihat-lihat atau sekadar bertanya harga.

"Pengunjung datang ke pusat perbelanjaan tapi sedikit atau tidak belanja adalah bukan tren atau fenomena baru," jelasnya.

Ia mengatakan kondisi ini sangat bergantung pada daya beli. "Dikarenakan uang yang dipegang oleh masyarakat kelas menengah bawah semakin sedikit maka terjadi kecenderungan untuk berbelanja barang yang harga satuannya murah. Mereka juga mengutamakan belanja untuk hal-hal penting dan utama saja," tuturnya.

Namun, untuk segmen menengah atas, fenomena serupa bukan disebabkan oleh lemahnya daya beli, melainkan preferensi menyimpan uang atau berinvestasi.

"Kalangan menengah atas lebih memilih opsi menyimpan uang atau berinvestasi daripada belanja akibat kondisi mikro dan makro ekonomi serta dampak global yang banyak menimbulkan ketidakpastian," kata Alphonzus.

Terlepas dari dinamika tersebut, pembangunan pusat perbelanjaan tetap berlangsung. Sejumlah proyek baru telah dibuka seperti Jakarta Premium Outlet, Pakuwon Mall Bekasi, dan Icon Bali.

"Potensi industri usaha pusat perbelanjaan masih sangat terbuka luas... Rasio luasan pusat perbelanjaan dibandingkan dengan jumlah populasi di Indonesia juga relatif masih kecil dibandingkan dengan negara tetangga," ucap Alphonzus.

Sebelumnya, Ketua Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Budiharjo Iduansjah mengatakan, tantangan saat ini adalah semakin besar orang kaya Indonesia justru lebih memilih belanja di luar negeri ketimbang di mal dalam negeri.

Kata dia, hal itu tak lepas dari masalah ketersediaan barang dan harga jual di dalam negeri yang relatif mahal karena faktor perizinan dan biaya operasional.

Selain itu, maraknya belanja daring juga ikut mengubah kebiasaan. Banyak masyarakat yang memilih membeli kebutuhan seperti elektronik dan fesyen secara online ketimbang datang langsung ke mal.

"Kalau bisa diperbaiki online itu bersaing sama offline, fair budget, fair masuk impor barang. Kami impor resmi jual di toko, tapi yang sebelah juga harus resmi, nggak boleh," kata Budihardjo, dikutip dari detikfinance, Senin (4/8/2025).


(dce)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Pengusaha Ungkap Mal RI Mulai Bangkit dari Kubur, Tak Lagi Sunyi-Sepi

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular