Internasional

Negara Arab Krisis, Ramai Warga Jadi Pemulung Sampah Buat Makan

Tommy Patrio Sorongan, CNBC Indonesia
28 July 2025 16:45
Pemandangan danau Al Sejoumi yang mengering di Tunis, Tunisia, 22 Juli 2023. (REUTERS/Jihed Abidellaoui)
Foto: Pemandangan di Tunis, Tunisia. (REUTERS/JIHED ABIDELLAOUI)

Jakarta, CNBC Indonesia - Krisis ekonomi melanda negara Arab, Tunisia. Hal ini membuat sejumlah warga akhirnya menjadi pemulung sampah buat makan.

Mengutip AFP, Kepala Kamar Nasional Pengumpul Sampah Daur Ulang Hamza Chaouch, memperkirakan ada sekitar 25.000 pemulung plastik di seluruh Tunisia. Sekitar 40% di antaranya berada di ibu kota, Tunis. 

"Satu hal yang pasti jumlah mereka telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir," Chaouch, yang juga mengelola pusat pengumpulan plastik di selatan Tunis, dikutip Senin (28/7/2025).

"Ini karena biaya hidup," tambahnya.

Di Tunisia, pekerja ini akrab dikenal dengan 'barbecha'. Pekerjaan ini sering kali melelahkan.

Di Tunis adalah pemandangan umum melihat perempuan membungkuk membawa karung-karung botol plastik di pinggir jalan atau pria yang menyelip di antara lalu lintas dengan muatan menjulang tinggi yang diikat ke sepeda motor mereka. Satu kilogram botol plastik hanya bernilai 0,5 hingga 0,7 dinar Tunisia (Rp 4.100).

"Awalnya, mereka adalah orang-orang tanpa penghasilan, tetapi selama dua tahun terakhir, para pekerja, pensiunan, dan perempuan petugas kebersihan juga beralih ke pekerjaan ini sebagai pekerjaan tambahan," tambah Chaouch.

Menurut data resmi terbaru, sekitar 16% warga Tunisia hidup di bawah garis kemiskinan pada tahun 2021. Angka pengangguran saat ini berada di sekitar 16% dengan inflasi sebesar 5,4%.

Fenomena pemulung sampah ini mengalami kenaikan seiring jumlah pekerja informal yang melonjak dalam beberapa tahun terakhir. Namun, karena pekerjaan ini bersifat informal, tidak ada data resmi pemerintah.

Penyebab Lain

Selain krisis ekonomi yang membuat warga kehilangan pekerjaan, jumlah pemulung juga bertambah dengan kedatangan para migran dari sub-Sahara Afrika lain, yang transit di Tunisia untuk menyeberang ke Eropa. Tunis sejauh ini menindak keras penyeberangan Mediterania, membuat banyak migran terjebak.

Salah satunya adalah Abdelkoudouss, seorang pemuda 24 tahun dari Guinea. Ia mengatakan ia mulai memulung plastik untuk memenuhi kebutuhan hidup tetapi juga untuk menabung cukup uang agar bisa kembali ke rumah setelah dua kali gagal mencoba menyeberang ke Eropa.

Selama dua bulan terakhir, ia bekerja di tempat cuci mobil. Tetapi upah yang rendah memaksanya untuk mulai mendaur ulang sebagai pekerjaan sampingan.

"Hidup di sini tidak mudah. Saya pindah setelah menerima banyak ancaman di tengah ketegangan antara migran dan penduduk lokal di Sfax (kota pesisir di Tunisia tengah)," ungkapnya.

Presiden Tunisia Kais Saied sudah mengecam keras para imigran sejak 2023. Ia mengatakan "gerombolan migran sub-Sahara" mengancam komposisi demografis negara itu.

Pernyataan Saied beredar luas secara daring. Hal itu memicu gelombang permusuhan yang menurut banyak migran masih terasa hingga kini.

"Kami tidak menerima orang sub-Sahara di pusat kami. Prioritas diberikan kepada warga Tunisia," kata Chaouch lagi yang secara terang-terangan mengatakan akan menolak orang-orang non Tunisia untuk bekerja dalam perusahaannya.

Meski demikian, Abdallah Omri, yang mengepalai pusat sampah daur ulang lainnya di Bhar Lazreg, mengatakan ia 'menyambut semua orang'. Menurutnya, pekerjaan ini akan memberikan banyak manfaat bagi komunitas dan negara.

"Orang-orang yang melakukan pekerjaan ini hanya mencoba untuk bertahan hidup, entah mereka orang Tunisia, sub-Sahara, atau lainnya," katanya.

"Kami membersihkan negara dan memberi makan keluarga," tambahnya dengan bangga.


(tps/tps)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Negara Krisis Bertekad 'Bangkit dari Kubur' Anggarkan Belanja Jumbo

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular