
Rusia Garap Proyek Migas di Natuna, RI Gak Takut Kena Efek Sanksi?

Jakarta, CNBC Indonesia - Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) meminta perusahaan migas asal Rusia, yakni Zarubezhneft (ZN), untuk melaporkan perkembangan isu terkait sanksi Uni Eropa terhadap perusahaan Rusia dan bagaimana potensi dampaknya terhadap proyek migas mereka di Indonesia.
Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas Hudi D. Suryodipuro mengatakan, laporan ini penting dilakukan, sehingga pihaknya juga menyiapkan antisipasi ke depannya.
Terlebih, Pemerintah Indonesia berharap proyek yang dikelola Zarubezhneft di Blok Tuna, Perairan Natuna, ini bisa beroperasi sesuai dengan rencana pengembangan atau Plan of Development (PoD) yang sudah ditetapkan.
"Nah, kita, tentu saja, yang kita pegang, pokoknya, ya, bagaimana caranya itu onstream sesuai dengan PoD-nya, gitu. Nah, kalau pun nanti ada isu-isu yang perlu diantisipasikan, ya, harapan kita, mereka juga segera menyampaikan kepada kita kira-kira ada apa untuk ini," ungkapnya dalam sebuah diskusi di Jakarta, Jumat (25/7/2025).
"Yang intinya adalah SKK Migas itu terus berupaya supaya proyek-proyek yang PoD-nya itu sudah disetujui, itu bisa segera diimplementasikan. Intinya adalah di situ," tandasnya.
Seperti diketahui, Blok Tuna ini sebelumnya dikelola oleh perusahaan asal Inggris, Harbour Energy, melalui Premier Oil Tuna B.V. Sementara Zarubezhneft sendiri merupakan perusahaan migas milik Pemerintah Rusia yang memegang hak partisipasi sebesar 50% di Blok Tuna melalui anak usahanya, ZN Asia Ltd.
Mulanya, Zarubezhneft ini yang dikabarkan akan mundur dari proyek ini karena adanya sanksi Uni Eropa dan Amerika Serikat terhadap perusahaan asal Rusia. Namun beberapa waktu lalu isu tersebut menjadi bertolak balik.
SKK Migas menyebut, Harbour Energy lah yang memutuskan untuk mundur dari proyek migas di Blok Tuna ini, sementara perusahaan asal Rusia tersebut justru lanjut tetap berada di proyek di Natuna ini.
Deputi Eksplorasi, Pengembangan, dan Manajemen Wilayah Kerja SKK Migas Rikky Rahmat Firdaus menjelaskan bahwa keputusan perusahaan asal Inggris tersebut didorong oleh kebijakan sanksi dari Amerika Serikat terhadap perusahaan asal Rusia.
"Jadi untuk yang POD 1 Tuna ini kan memang ada posisi dari KKKS Harbour sebelumnya bahwa dia gak bisa lanjut kalau ada sanction US gitu ya di mitra sebelahnya. Dalam konteks tersebut Harbour kelihatannya juga punya selera investasi lainnya di Laut Utara begitu," ujarnya di Kantor SKK Migas, dikutip Selasa (22/7/2025).
Meski demikian, pihaknya tetap mengupayakan agar proyek Blok Tuna dapat berproduksi sesuai jadwal yang telah ditentukan. Oleh sebab itu, SKK Migas tengah mencari operator baru pengganti Harbour untuk melanjutkan tahapan Front End Engineering Design (FEED) guna mengejar target produksi.
"Nah jadi Harbour selaku operator bersedia untuk menyerahkan data-datanya kepada next operator berikutnya yang tadi kita dengar Pak Kepala sampaikan Zarubezhneft perlu menggandeng investor-investor baru yang bisa operasi ya karena Zarubezhneft kan sebelumnya juga non operator gitu di sini," kata dia.
(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Siap-Siap 2 Ladang Minyak di Natuna Segera Nyembur
