Benarkah Dokter Cuma Dibayar Rp2.000? Simak Penjelasan BPJS Kesehatan
Jakarta, CNBC Indonesia - BPJS Kesehatan memastikan bahwa tidak ada dokter yang dibayar Rp2.000 dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Humas BPJS Kesehatan, Rizzky Anugerah menjelaskan, meskipun Program JKN telah berjalan lebih dari satu dekade, masih terdapat tantangan dalam memahami bagaimana skema pembayaran layanan kesehatan pada Program JKN.
"Jadi tidak benar kalau ada yang bilang dokter cuma dibayar BPJS Kesehatan Rp2.000 untuk setiap pasien yang dilayani," jelas Rizzky dalam keterangan resmi, Jumat (27/5/2025).
Rizzky menjelaskan, ada dua istilah yang kerap disebut namun masih sering disalahartikan adalah sistem kapitasi dan Indonesia Case-Based Groups (INA-CBG). Padahal, keduanya merupakan komponen penting dalam mekanisme pembiayaan layanan kesehatan untuk peserta JKN.
Menurut Rizzky perbedaan antara kapitasi dan INA-CBG mencakup cara pembayaran, jenis layanan yang diberikan, serta fasilitas kesehatan yang menerima pembayaran.
"Kapitasi adalah sistem pembayaran yang dilakukan di awal secara prabayar setiap bulan kepada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP), seperti Puskesmas, klinik pratama, atau dokter praktik perorangan. Besaran pembayaran ditentukan berdasarkan jumlah peserta JKN yang terdaftar, tanpa memperhitungkan frekuensi kunjungan atau jenis layanan medis yang diberikan," jelas Rizzky.
Artinya, walaupun peserta tidak datang berobat, fasilitas kesehatan tetap menerima pembayaran dari BPJS Kesehatan.
Namun demikian, hal ini bukan berarti tanpa kewajiban, FKTP tetap dituntut untuk memberikan layanan secara optimal, termasuk layanan promotif, preventif, serta pengelolaan pasien penyakit kronis melalui Program Pengelolaan Penyakit Kronis (Prolanis) dan Program Rujuk Balik (PRB).
"BPJS Kesehatan membayar ke FKTP, dan besaran tarif kapitasi ini telah diatur pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2023. Sedangkan pembagian jasa medis dokter dan tenaga medis kesehatan lainnya merupakan kewenangan faskes," katanya.
Lebih lanjut, Rizzky menjelaskan bahwa saat ini sistem kapitasi telah dikembangkan menjadi Kapitasi Berbasis Kinerja (KBK). Dalam skema ini, fasilitas kesehatan yang menunjukkan kinerja baik akan mendapatkan insentif tambahan.
"Penilaian kinerja dilakukan berdasarkan sejumlah indikator, seperti seberapa aktif FKTP menjalin kontak dengan peserta, baik saat sehat maupun sakit. Kemudian efektivitas dalam mengendalikan tingkat rujukan yang seharusnya cukup ditangani di FKTP, serta keberhasilan dalam mengelola pasien diabetes melitus dan hipertensi agar tetap terkendali," kata Rizzky.
FKTP yang mencapai indikator kinerja yang ditetapkan bahkan dapat memperoleh insentif hingga 110 persen dari tarif kapitasi standar. Tujuannya adalah untuk mendorong FKTP menjalankan perannya secara optimal sebagai gatekeeper layanan kesehatan, bukan sekadar tempat berobat saat sakit saja.
"Makin banyak peserta yang sehat, FKTP makin untung. Harapan kami, itu bisa memacu semangat FKTP untuk menggalakkan upaya promotif preventif," jelas Rizzky.
Berbeda dengan kapitasi, sistem INA-CBG digunakan di Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL) seperti rumah sakit.
Besaran tarifnya diatur oleh Kementerian Kesehatan berdasarkan paket tarif yang telah disesuaikan dengan diagnosis medis dan tindakan yang dilakukan. Sementara, BPJS Kesehatan berperan sebagai pihak yang melakukan verifikasi klaim sebelum dibayarkan ke pihak rumah sakit.
"Kalau INA-CBG adalah pembayaran berdasarkan layanan yang benar-benar diberikan oleh rumah sakit kepada peserta JKN. Skema ini diterapkan sesuai dengan karakteristik pelayanan di rumah sakit yang menangani kasus medis spesialistik, atau membutuhkan penanganan lebih lanjut," tambah Rizzky.
Rizzky menambahkan, jika semua penyakit harus ditangani di rumah sakit, bukan hanya biaya yang membengkak, tapi juga bisa menyebabkan penumpukan pasien dan turunnya kualitas pelayanan di rumah sakit.
"Oleh sebab itu FKTP diposisikan sebagai garda terdepan untuk penanganan awal, sementara rumah sakit fokus pada kasus yang memang memerlukan penanganan lebih lanjut sesuai dengan indikasi medis," ujar Rizzky.
Di sisi lain, rujukan menurut Rizzky hanya dilakukan bila FKTP tidak mampu menangani kondisi pasien berdasarkan kebutuhan medis, bukan keinginan pribadi atau pertimbangan biaya.
Sesuai Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 16 Tahun 2024 tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perseorangan, disebutkan bahwa pelayanan kesehatan harus terlebih dahulu melalui FKTP sebelum dirujuk ke rumah sakit tingkat lanjutan.
"Rumah sakit pun terbagi menjadi beberapa kelas, yaitu rumah sakit kelas A, kelas B, kelas C, dan kelas D. Klasifikasi rumah sakit umum dibagi menjadi berdasarkan fasilitas dan kemampuan pelayanannya, sebagaimana yang diatur dalam regulasi yang ditetapkan pemerintah. Ini menunjukkan bahwa pemerintah sudah membangun sistem pelayanan kesehatan sedemikian rupa, supaya pelayanan kesehatan bisa berjalan dengan optimal," tutup Rizzky.
(dpu/dpu)