Lembaga Internasional Yakin Tarif Trump 19% Aman Bagi Ekonomi RI

Zahwa Madjid, CNBC Indonesia
23 July 2025 14:25
Suasana aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Kamis (26/9/2024). (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)
Foto: Suasana aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Kamis (26/9/2024). (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat (AS) telah meraih kesepakatan perdagangan. Indonesia menjadi salah satu negara yang mencapai kesepakatan lebih awal dengan pengenaan tarif sebesar 19%.

Lembaga internasional The ASEAN+3 Macroeconomic Research Office (AMRO) menilai dampak pengenaan tarif tersebut tidak akan terlalu besar. Pasalnya, perekonomian Indonesia relatif didorong oleh permintaan domestik dan ketergantungan yang lebih besar pada pasar China dibandingkan AS.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pada Januari - Mei 2025, nilai ekspor non migas RI ke Tiongkok sebesar US$ 24,2 miliar jauh lebih besar dibandingkan ke AS yakni US$ 12,1 miliar.

"Indonesia, tentu saja, adalah negara dengan ekonomi terbesar di ASEAN. Indonesia memiliki pasar domestik yang sangat besar. Jadi, jika kita bicara tentang Indonesia, ekonominya terutama didorong oleh permintaan domestik," ujar Kepala Ekonom AMRO, Dong He dalam konferensi pers, Rabu (23/7/2025).

"Pasar terbesar Indonesia sebenarnya adalah Tiongkok, bukan AS. Jadi dari sudut pandang itu, saya rasa Indonesia cukup terlindungi dari putaran tarif baru-baru ini," ujarnya.

He pun menjelaskan bahwa dibandingkan negara ASEAN lainnya, Indonesia adalah negara dengan tingkat keterbukaan perdagangan yang lebih rendah. Hal ini justru membuat Indonesia relatif lebih terlindungi dari tekanan eksternal seperti lonjakan tarif.

"Dalam hal ini, Indonesia kurang rentan karena kurang terbuka terhadap perdagangan internasional," ujarnya.

Ekonom AMRO 3+, Allen Ng menjelaskan memang tarif 19% lebih rendah jika dibandingkan dengan angka tarif sebelum negosiasi dilakukan yakni 32%. Namun, tarif 19% masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan tarif awal 10% sebelum negosiasi.

Maka dari itu, tetap ada tekanan yang perlu diperhitungkan, terutama pada sisi konsumsi rumah tangga.

"19% memang terlihat relatif rendah mengingat situasi saat ini. Namun, angka tersebut sebenarnya masih lebih tinggi daripada 10% yang awalnya dihadapi Indonesia. Saya rasa revisi ke bawah pada proyeksi pertumbuhan kami mencerminkan dampaknya terhadap melemahnya permintaan domestik kami," ujarnya.


(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Masato Kanda Resmi Menjabat Sebagai Presiden ADB ke-11

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular