
Nasib Orang Miskin Tak Banyak Berubah, Bansos Cuma Buat Bertahan Hidup

Jakarta, CNBC Indonesia - Jumlah penduduk miskin di Indonesia tak mengalami penyusutan yang signifikan dalam satu dekade terakhir, meskipun anggaran bantuan sosial (bansos) atau perlindungan sosial terus mengalami kenaikan.
Mengutip catatan Badan Pusat Statistik (BPS), angka kemiskinan yang terakhir dipublikasikan per September 2024 masih sebanyak 24,06 juta orang, sedikit lebih rendah dari posisi per September 2019 yang sebanyak 24,78 juta orang. Pada September 2014, jumlah penduduk miskin sebanyak 27,73 orang,
Sementara itu, anggaran perlinsos dari tahun ke tahunnya terus mengalami kenaikan. Pada 2025 nilainya telah mencapai Rp 503,2 triliun, lebih tinggi dari posisi pada 2024 yang sebesar Rp 496,8 triliun. Lalu, pada 2023 masih sebanyak Rp 476 triliun, dan pada 2022 senilai RP 431,5 triliun.
Analis Senior Indonesia Strategic and Economics Action Institution Ronny P. Sasmita menegaskan, anggaran perlinsos atau bansos memang bukan didesain pemerintahan manapun untuk mengentaskan kemiskinan, melainkan sebatas mengurangi beban pengeluaran dasar masyarakat miskin.
"Karena bansos bukan untuk memberantas kemiskinan, tapi untuk mengurangi beban masyarakat miskin, sehingga bansos tidak membuat masyarakat lebih produktif," ucap Ronny kepada CNBC Indonesia, dikutip Kamis (17/7/2025).
Di sisi lain, ia melanjutkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam 10 tahun terakhir memang masih di bawah titik optimumnya, sehingga lapangan pekerjaan yang layak tidak terbentuk sebagaimana mestinya. Akibatnya, banyak masyarakat akhirnya tidak berpendapatan secara layak, yang bisa memenuhi kebutuhan minimal mereka.
"Tentu juga karena banyak bansos yang tidak tepat sasaran di satu sisi dan menjadi ajang korupsi di sisi lain, yang membuat bansos gagal menjadi bumper bagi penerimanya untuk bertahan hidup layak sampai mendapatkan penghasilan yang layak," ujar Ronny.
Pernyataan serupa diucapkan oleh Manajer Riset Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas Fitra) Badiul Hadi. Namun, ia menitikberatkan pada ketidaktepatan sasaran penyaluran perlinsos atau bansos selama ini yang membuat beban pengeluaran masyarakat terkurangi.
"Inklusi dan eksklusi error yang tinggi akibat data yg kurang akurat atau tidak mutakhir, dan desain program yang tidak komprehensif, di mana bansos lebih bersifat karitatif jangka pendek tanpa diikuti program pemberdayaan," tegas Badiul.
Ia juga memperingatkan, standar kemiskinan Indonesia hingga kini pun masih berbeda dengan standar internasional yang telah didesain oleh Bank Dunia atau World Bank. Di antaranya perbedaan garis kemiskinan yang digunakan BPS dengan Bank Dunia yang telah mengkategorikan Indonesia sebagai negara berpendapatan menengah atas.
"Sudah saatnya pemerintah menyesuaikan garis kemiskinan nasional dengan standar Bank Dunia untuk negara berpendapatan menengah atas, sekitar Rp1,5 juta per kapita per bulan. Ini penting agar kebijakan sosial lebih akurat dalam menjangkau kelompok rentan," ucap Badiul Hadi.
Peneliti Next Policy Shofie Azzahrah juga telah memperingatkan bahwa bansos bukanlah solusi utama dalam mengatasi kemiskinan, melainkan hanya berfungsi sebagai jaring pengaman sementara.
Ia menganggap, kondisi ekonomi makro Indonesia saat ini yang melemah, yang ditandai dengan terjadinya penurunan daya beli dan peningkatan angka PHK justru menjadi faktor struktural yang memperlambat perbaikan angka kemiskinan.
"Oleh karena itu, diperlukan reformasi menyeluruh, di mana bansos yang diberikan harus diperbaiki targetingnya, serta tidak fokus pada aspek konsumtif saja, tapi juga penguatan intervensi berbasis pemberdayaan ekonomi, untuk meningkatkan kapasitas manusia dan memberikan akses ke peluang ekonomi yang lebih baik agar bisa keluar dari jerat kemiskinan," paparnya.
(arj/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Mensos Ingin Gabung CSR ke Program Pengentasan Kemiskinan Pemerintah
