RI Dapat Diskon Tarif Trump, Bagaimana Nasib Negara Asia Lain?
Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia menjadi salah satu negara Asia yang memperoleh tarif impor paling rendah dari Amerika Serikat (AS) usai Presiden Donald Trump menurunkan tarif dari 32% menjadi 19%. Penurunan ini merupakan hasil kesepakatan bilateral antara Trump dan Presiden Prabowo Subianto.
Langkah ini menjadikan Indonesia dalam posisi yang relatif lebih menguntungkan dibandingkan negara-negara Asia lainnya yang justru menghadapi lonjakan tarif baru dari AS.
Beberapa negara ASEAN seperti Thailand dan Malaysia dikenai tarif lebih tinggi yakni di kisaran 25%-36%. Negara-negara berpenghasilan rendah seperti Laos, Myanmar, dan Kamboja bahkan menghadapi tarif ekstrem hingga 40%-48%.
Sementara itu, Vietnam, meskipun dikenal dekat dengan Washington secara strategis, tetap dikenai tarif 20%, atau hanya sedikit lebih rendah dari Indonesia.
Selain RI, Singapura termasuk yang paling ringan kena tarik AS dibandingkan negara ASEAN lainnya, yakni hanya terkena tarif 10% yang berlaku nasional. Tarif ini bukan hanya atas produk tertentu, dan diputuskan tanpa pengecualian sektor manapun .
Bagaimana dengan Jepang, Korsel dan China?
Dua sekutu utama AS di Asia Timur, Jepang dan Korea Selatan, juga tak luput dari kebijakan tarif. Keduanya terkena tarif rata-rata 25%, terutama untuk sektor otomotif dan baja. Ini menjadi ironi karena Jepang dan Korsel selama ini menjadi mitra dagang utama AS dengan kerja sama strategis jangka panjang.
Sementara itu, China tetap menjadi negara dengan tarif tertinggi dari AS. Meskipun tarif sempat mencapai 54%-145% dalam beberapa tahun terakhir, tarif terbaru pasca-negosiasi ulang berada di kisaran 30%, termasuk kombinasi bea tambahan atas produk elektronik, farmasi, dan manufaktur berat.
Indonesia Diuntungkan, Tapi Harus Waspada
Dengan tarif 19%, Indonesia menjadi satu-satunya negara Asia yang memperoleh penurunan signifikan dan stabilitas tarif jangka pendek. Namun, menurut pengamat hukum internasional Hikmahanto Juwana, manfaat ini harus segera dibarengi dengan penguatan sektor dalam negeri.
"Indonesia memang mendapatkan tarif rendah, tapi konsekuensinya besar-pasar kita terbuka penuh untuk produk AS," ujar Hikmahanto.
Ia mengingatkan, tanpa penguatan industri lokal dan dukungan terhadap UMKM dan BUMN, produk dalam negeri bisa kalah bersaing. Selain itu, negara-negara mitra seperti Uni Eropa, China, dan Jepang juga bisa menuntut perlakuan serupa atas dasar prinsip Most Favored Nation (MFN) dalam kerangka WTO.
Menurut data lembaga riset independen, kebijakan tarif AS di bawah pemerintahan Trump 2.0 menyebabkan kenaikan harga barang impor di AS, menyumbang tambahan inflasi sekitar 1,8%-2,1%, serta memperlambat pertumbuhan ekonomi hingga -0,9 poin persentase pada 2025.
(tfa/tfa)