Perang Dagang Trump Minggir, China Diprediksi Tumbuh 5,2% di Q2
Jakarta, CNBC Indonesia - Ekonomi China diperkirakan tumbuh 5,2% pada kuartal II 2025 berkat lonjakan ekspor, menurut jajak pendapat AFP terhadap sejumlah analis. Namun, prospek cerah ini dibayangi ketidakpastian akibat perang dagang yang kembali dipicu oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.
"Pada akhirnya, perdagangan eksternal saja tidak cukup untuk menutup lemahnya permintaan domestik," kata Sarah Tan, Ekonom di Moody's Analytics, seperti dikutip AFP pada Jumat (11/7/2025).
Trump telah kembali memberlakukan tarif tinggi terhadap produk China dan negara mitra dagang lainnya sejak awal tahun, mengancam kinerja ekspor yang selama ini menjadi tumpuan utama pertumbuhan ekonomi Negeri Tirai Bambu. Meski Washington dan Beijing sempat mencapai kerangka kesepakatan dagang dalam perundingan di London bulan lalu, ketidakpastian masih menyelimuti kelanjutan hubungan ekonomi kedua negara.
Menurut proyeksi analis, data resmi yang dirilis Selasa akan menunjukkan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) China sebesar 5,2% secara tahunan pada kuartal kedua. Namun, banyak pihak memperkirakan laju pertumbuhan akan melambat di paruh kedua tahun ini.
"Tanpa dukungan kebijakan yang lebih kuat dan reformasi struktural untuk meningkatkan pendapatan serta kepercayaan rumah tangga, pemulihan China berisiko kehilangan momentum lebih lanjut," tambah Tan.
Ekspor Melonjak Tapi Konsumen Lemah
Kinerja ekspor China masih menjadi penopang utama ekonomi, menyusul lonjakan pengiriman luar negeri pada kuartal II. Banyak pembeli global mempercepat pesanan untuk menghindari potensi kenaikan tarif lebih lanjut dari AS.
"April sangat baik untuk ekspor, terutama karena tarif impor AS yang tinggi pada bulan itu," ujar Alicia Garcia-Herrero, Kepala Ekonom Asia Pasifik di Natixis.
Namun di sisi lain, tekanan deflasi masih mengintai. Indeks harga produsen China turun 3,6% secara tahunan pada Juni, mencatat penurunan tercepat dalam hampir dua tahun.
"Tekanan deflasi belum mereda dan indikator pasar tenaga kerja terus mengecewakan," kata Betty Wang, Ekonom Utama di Oxford Economics.=
Kondisi ini memperkuat kekhawatiran bahwa pertumbuhan yang terjadi sejauh ini belum memberikan manfaat luas ke lapangan kerja maupun daya beli masyarakat. Beijing sejak tahun lalu telah meluncurkan berbagai kebijakan untuk mendorong konsumsi, termasuk program subsidi tukar tambah barang konsumsi namun efektivitas kebijakan itu dipertanyakan.
"Skema seperti ini tidak banyak menyentuh akar permasalahan seperti stagnasi pendapatan, ketidakpastian pekerjaan, dan sentimen konsumen yang rapuh," ujar Tan.
Pemerintah China membidik pertumbuhan ekonomi sekitar 5% tahun ini, sama seperti tahun lalu. Di kuartal pertama, ekonomi tumbuh 5,4%, melebihi ekspektasi. Namun analis dari Macquarie, Larry Hu dan Yuxiao Zhang, menilai pertumbuhan tersebut "tanpa keuntungan nyata".
"Meskipun PDB mungkin tumbuh lebih dari 5% secara tahunan pada paruh pertama 2025, pertumbuhan ini lebih didorong oleh manufaktur dan ekspor," tulis mereka. "Tapi karena permintaan domestik lemah, pertumbuhan ini bersifat deflasi, tanpa lapangan kerja, dan tanpa keuntungan."
Hu dan Zhang menambahkan bahwa tanpa stimulus kebijakan besar-besaran, sulit bagi China untuk keluar dari tekanan deflasi yang terus berlangsung. "Namun, kebijakan berskala besar tidak akan diluncurkan kecuali ekspor benar-benar melambat," pungkas mereka.
(sef/sef)