Dianggap Receh di RI, Daun Ini Diburu Jepang hingga Belanda
Jakarta, CNBC Indonesia - Daun salam merupakan tanaman asal Indonesia yang memiliki banyak khasiat. Selain sebagai bumbu dapur, daun salam juga digunakan sebagai obat tradisional karena mengandung beragam nutrisi serta senyawa bioaktif.
Siapa sangka keajaiban dan manfaat daun salam ternyata menjadi incaran pasar global terutama dari negara-negara maju seperti Jepang, Australia, hingga Belanda.
Mirisnya, meski permintaan global masih stabil, nilai ekspor daun salam Indonesia justru menurun dalam beberapa tahun terakhir. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, ekspor daun salam Indonesia pada 2024 hanya mencapai US$123.778, turun jauh dari puncaknya di tahun 2021 yang sempat menembus US$301.506.
Syzygium polyanthum, atau yang akrab disebut daun salam, bukan sekadar daun aromatik. Dalam dunia kuliner Indonesia, ia hampir selalu hadir dalam masakan berbumbu seperti semur, soto, lodeh, hingga nasi uduk. Tapi yang tak banyak diketahui publik adalah tingginya nilai fungsional dan farmakologis daun salam itulah yang justru dicari oleh pasar ekspor.
Berbagai studi menunjukkan bahwa daun salam mengandung senyawa aktif seperti flavonoid, eugenol, tanin, dan minyak atsiri yang bersifat antioksidan, antidiabetik, antiinflamasi, dan antihipertensi. Di Jepang dan Korea Selatan, ekstrak daun salam mulai digunakan dalam formulasi teh herbal, suplemen pengatur gula darah, bahkan produk perawatan kulit dengan klaim detoksifikasi.
Australia dan Belanda, yang konsumsi rempah-rempahnya tinggi karena industri kuliner dan kesehatan naturalnya berkembang pesat, menjadikan daun salam sebagai komponen dalam bumbu kering instan, kaldu herbal, dan produk ritel rempah olahan.
Meski manfaatnya luas dan pasarnya cukup loyal, ekspor daun salam RI justru menunjukkan tren penurunan sejak 2022. Volume ekspor yang sempat mencapai hampir 70 ton di 2019 dan 2021, kini tinggal 23 ton di 2024. Nilai ekspornya pun menurun hampir separuh dibandingkan tiga tahun lalu.
Salah satu penyebab utama selain Pandemi Covid-19 adalah ketersediaan bahan baku yang tidak terstandarisasi dan kurangnya pengolahan pascapanen yang memenuhi standar ekspor. Banyak produk daun salam dari Indonesia masih dijual dalam bentuk utuh, tanpa proses pengeringan yang memenuhi standar kebersihan dan kadar air rendah.
Selain itu, perubahan regulasi importasi di negara tujuan seperti Jepang dan Eropa ikut memperketat masuknya produk rempah dari negara berkembang. Jepang misalnya, kini mewajibkan sertifikasi bebas pestisida dan pengujian logam berat yang belum semua eksportir kecil di Indonesia bisa penuhi.
Meski nilai ekspor total turun, Jepang justru menjadi pasar paling aktif dan konsisten. Pada tahun 2024, nilai ekspor daun salam Indonesia ke Jepang naik tajam menjadi US$66.726, tertinggi sepanjang enam tahun terakhir. Ini menunjukkan bahwa meskipun pasar global menyempit, negara-negara yang menghargai nilai fungsional daun salam justru memperbesar permintaannya.
Korea Selatan juga menunjukkan lonjakan permintaan dengan pembelian senilai US$16.608, naik signifikan dari hanya US$6.604 di tahun sebelumnya. Sementara itu, Australia dan Belanda yang sempat menjadi pasar dominan, kini menunjukkan penurunan akibat regulasi dan persaingan dari negara pemasok lain seperti India dan Sri Lanka.
Negara Tujuan Ekspor Daun Salam RI dengan Nilai Terbesar
Pasar global untuk daun herbal dan rempah alami diperkirakan akan terus tumbuh seiring meningkatnya tren gaya hidup sehat, konsumsi plant-based, serta minat terhadap pengobatan natural.
Dalam laporan Allied Market Research, pasar bahan herbal dunia diperkirakan tumbuh rata-rata 7% per tahun hingga 2030.
Indonesia sebagai rumah bagi ratusan jenis rempah, termasuk daun salam endemik tropis, seharusnya bisa menjadi pemain utama.
Namun untuk itu, dibutuhkan standarisasi hulu-hilir, pelatihan petani, penguatan koperasi rempah, serta insentif ekspor bagi UMKM yang bergerak di bidang rempah olahan.
(lih/luc)