
Masa Depan Nuklir Iran Tanpa Pengawasan PBB, Teheran Buka Suara

Jakarta, CNBC Indonesia - Iran memicu ketegangan baru dengan negara-negara Barat setelah Presiden Masoud Pezeshkian menandatangani undang-undang yang menangguhkan kerja sama negaranya dengan Badan Energi Atom Internasional (IAEA). Keputusan ini langsung menuai kecaman keras dari Amerika Serikat dan negara-negara Eropa.
"Tidak dapat diterima bahwa Iran memilih untuk menangguhkan kerja sama dengan IAEA pada saat negara itu memiliki peluang untuk mengubah arah dan memilih jalan menuju perdamaian dan kemakmuran," kata juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Tammy Bruce.
Bruce menegaskan kembali sikap Washington: "Iran tidak dapat dan tidak akan memiliki senjata nuklir."
Langkah Iran tersebut dikritik karena dianggap menghapus peluang pengawasan internasional terhadap program nuklirnya. Kantor Luar Negeri Jerman menyebut penangguhan itu sebagai ancaman terhadap transparansi global.
Namun, Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araghchi membantah tuduhan itu. Melalui unggahannya di X, ia menyebut komentar Jerman sebagai "berita palsu" dan menegaskan bahwa Iran "tetap berkomitmen pada NPT dan Perjanjian Pengamanannya."
Iran merupakan penandatangan Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (NPT), yang mewajibkan negara anggotanya tidak mengembangkan senjata nuklir. Melalui mekanisme perjanjian ini, IAEA selama ini memverifikasi aktivitas nuklir Iran.
Menurut Araghchi, penangguhan kerja sama itu bertujuan untuk alasan "keamanan nasional" setelah serangan Israel dan AS terhadap fasilitas nuklir Iran.
"Kerja sama dengan IAEA akan disalurkan melalui Dewan Keamanan Nasional Tertinggi Iran," jelasnya.
Serangan yang dimaksud merujuk pada penghancuran tiga fasilitas utama Iran, yakni Fordow, Natanz, dan Isfahan, yang diklaim dilakukan oleh Israel dan AS. Presiden AS Donald Trump menyebut operasi itu sebagai "penghancuran total", sementara Israel menilai program nuklir Iran sebagai ancaman eksistensial.
Iran bersikeras program nuklirnya hanya untuk kepentingan energi damai. Namun, cadangan uranium yang diperkaya hingga mendekati tingkat senjata membuat Barat mencurigai potensi militerisasi program tersebut.
IAEA mengatakan tengah menunggu informasi resmi dari Tehran terkait perubahan status kerja sama. Sementara itu, prospek negosiasi nuklir baru masih kabur setelah Iran menolak tawaran Presiden Trump untuk melanjutkan diplomasi.
Para analis memperingatkan bahwa langkah AS dan Israel justru bisa menjadi pemicu bagi elemen garis keras di Iran untuk mempercepat ambisi pengembangan senjata nuklir. Namun, Washington bersikukuh bahwa strategi tekanan maksimum masih relevan.
(luc/luc)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Perang Israel Vs Iran Bawa Malapetaka, Rusia Warning Bencana Nuklir
