
Sopir Truk Sayur Sekali Jalan dari Garut-Kramat Jati Dipalak Rp175.000

Jakarta, CNBC Indonesia - Praktik pemalakan oknum preman alias pungutan liar (pungli) ternyata belum hilang, meski beberapa waktu belakangan sering jadi sorotan dan mengundang reaksi dari pemerintah. Bahkan, pemalakan juga dialami sopir truk pengangkut bahan pangan, seperti sayuran.
Hal itu diungkapkan Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata yang juga Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat, Djoko Setijowarno. Dia mengutip pengakuan sopir truk yang hadir dalam diskusi bersama Asosiasi Pengemudi Angkutan Barang yang digelar beberapa waktu lalu di kantor Kementerian Perhubungan (Kemenhub).
"Pengakuan sopir truk, pemalakan oknum preman dari Tol Cikampek hingga Kramat Jati, supir truk bawa besar harus bayar pungli Rp 200 ribu. Jika istirahat di bahu jalan (setelah gerbang tol), mereka juga kena pungli petugas tol. Katanya, sudah pernah disampaikan ke Direksi, tetapi sampai sekarang masih ada pungli," kata Djoko, dikutip Kamis (3/7/2025)
"Komunitas sopir truk menyampaikan jika di bahu jalan dipungli sama oknum PJR dan di rest area dipungli sama Satpam rest area . Pengakuan pengusaha angkutan barang, di sekitar Tanjung Priok ada kampung, jalur menuju gudang yang masuk portal harus bayar Rp100 ribu dengan stempel RT setempat. Mengangkut sayuran dari Garut ke Pasar Kramatjati (Jakarta), harus menyisihkan paling tidak Rp 175 ribu melewati 5 - 6 titik pungutan liar," bebernya.
Hal ini, imbuh dia, mengonfirmasi kalau pemilik barang dan pengusaha juga menjadi korban praktik pungli yang jumlahnya lebih besar.
"Bedanya, pemilik barang tertutup , pengusaha angkutan setengah terbuka , sopir buka-bukaan . Diperkirakan praktik pungli di sektor logistik telah membebani 15-20% ongkos angkut logistik di Indonesia. Punglinya dilakukan mulai yang berbaju seragam hingga tidak memakai baju," tukasnya.
"Penuturan pengusaha truk, ongkos logistik di Indonesia sudah lebih tinggi dari Thailand," sebut Djoko.
Karena itu, lanjut dia, pemberantasan praktik pungli di sektor angkutan logistik Indonesia harus dimasukkan bersamaan dengan program Zero ODOL (over dimension over loading/ kendaraan bermuatan berlebihan dan melebihi dimensi) yang sedang ditangani Kemenko Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan. Pemerintah menargetkan, Indonesia bisa Zero ODOL pada tahun 2026 nanti.
"Data dari Asosiasi Pengusaha, dalam setahun truk dengan ritase yang padat, rata-rata menghabiskan Rp120-150 juta untuk pungli. Kalau dirata-rata sebulan bisa Rp10-12 juta. Dari angkut sampai bongkar semua ada punglinya," ungkapnya.
"Pemerintah hanya mikir memberantas ODOL, tapi nggak pernah mikir bagaimana memberantas punglinya. Makin tinggi biaya logistik karena 20-30 persen habis buat pungli," tukas Djoko.
Rekomendasi Penanganan ODOL
Di sisi lain, Djoko merekomendasikan, dalam penanganan kendaraan ODOL, harus disertai peningkatan transparansi dan akuntabilitas muatan.
Untuk itu, dia meminta, perusahaan angkutan umum yang mengangkut barang wajib membuat surat muatan barang dan surat perjanjian pengangkutan barang sesuai dengan pasal 168 Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
"Penggunaan surat muatan resmi wajib mencantumkan detail berat, dimensi, jenis, dan asal tujuan barang untuk setiap pengiriman. Surat muatan ditandatangani oleh pemilik barang, pengemudi dan operator kendaraan agar jika terjadi kecelakaan atau pelanggaran pemilik barang dan operator turut bertanggung jawab," ucap Djoko.
(dce/dce)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Polisi Amankan Preman yang Palak Marching Band TK di Tangsel
