
Kalah dari Vietnam-Malaysia, 'Borok Ekonomi' RI Ini Harus Ditangani!

Jakarta, CNBC Indonesia - Ekonom senior yang juga merupakan pendiri CReco Research Institute, Raden Pardede mengungkapkan struktur ekonomi Indonesia perlu segera diperbaiki, di tengah besarnya ketidakpastian ekonomi global.
Raden mengatakan, sebetulnya ekonomi Indonesia relatif lebih kuat terhadap guncangan eksternal, sebagaimana yang terjadi saat ini, karena sebagian besar strukturnya didominasi oleh aktivitas domestik, khususnya konsumsi rumah tangga.
Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS), konsumsi rumah tangga memang menjadi penopang produk domestik bruto (PDB) Indonesia dengan porsi mencapai 54,53%. Sisanya dari investasi atau pembentukan modal tetap bruto (PMTB) 28,03%, ekspor 22,30%, konsumsi pemerintah 5,88%, serta konsumsi LNPRT 1,39%.
"Untuk sekarang ini daya tahan ekonomi kita itu terhadap krisis global cukup baik, namun menurut saya jangan complacent, kita harus tetap waspada," kata Raden saat berbicara dalam acara Gebyar Wawasan Kebangsaan 2025 yang ditampilkan di Youtube Lemhannas RI, Senin (30/6/2025).
Namun, saat ketidakpastian ekonomi memburuk akibat perang dagang dan konflik bersenjata di berbagai belahan dunia, yang berpotensi mengganggu ekspor tanah air, ia menganggap menjadi momentum bagi pemerintah untuk memperkuat daya tahan sisi domestik, terutama dari sisi lapangan usaha. Sebab, sektor lapangan usaha menjadi penggerak utama roda perekonomian saat aktivitas global meredup, karena menjadi sumber penciptaan lapangan kerja formal.
Sayangnya, Raden mengingatkan, sektor ekonomi dari sisi lapangan usaha yang menjadi penopang utama PDB, yakni industri pengolahan, share atau distribusinya terhadap PDB kian merosot dari tahun ke tahunnya, bahkan menurut Raden pertumbuhannya makin tertinggal dari negara-negara tetangga, seperti Vietnam.
"Industri kita mengalami pelemahan. Dibanding negara lain, bisa dilihat sekarang Vietnam industrialisasinya naik manufaktur, kita turun, itu juga menjadi catatan, jadi ada persoalan di kita," ucap Raden.
Industri manufaktur yang terus melemah, hingga kerap disebut masuknya masa deindustrialisasi dini terlihat dari distribusi industri pengolahan atau manufaktur terhadap PDB yang merosot satu dekade terakhir saat pertumbuhan ekonomi Indonesia stagnan di level 5%.
Pada 2014 distribusi industri pengolahan terhadap PDB menurt data BPS masih mampu mencapai 21,02%. Namun, pada 2019 tersisa 19,7%, dan pada 2023 kian merosot menjadi 18,67%. Pada 2024 sedikit naik menjadi 19,13%, dan berlanjut ada perbaikan hingga kuartal I-2025 yang sebesar 19,25%.
Sementara itu, untuk Vietnam berdasarkan catatan Raden, justru mengalami peningkatan signifikan dari periode 200 sampai 2020, yakni dari semula sharenya di bawah 20% kini sudah hampir menuju ke kisaran 25%.
Bila tak ada perbaikan terhadap industri manufaktur, efeknya kata Raden ialah makin minimnya lapangan kerja formal bagi masyarakat, menyebabkan makin terkikis lapangan kerja yang memberikan upah berkelanjutan, hingga menekan kelas menengah tanah air.
"Kita lihat di sini informal sektor masih terlampau banyak. Kalau banyak yang informal sektor yang bayar pajak juga sedikit," ucapnya.
Akibat lainnya ialah kinerja ekspor Indonesia yang tak mampu ditopang oleh barang-barang bernilai tambah tinggi, melainkan menjadi tergantung dengan barang-barang sumber daya alam.
"Bandingkan dengan negara lain Malaysia, Vietnam, Thailand ekspor dia utamanya sudah di machinery transport dan equipment, kita adalah di mineral crude material dan lain-lain, jadi belum diolah, itu perlu diperbaiki," tegas Raden.
"Dan investasi kita juga masih terkonsentrasi di sektor logam dasar dan pertambangan. Ini yang perlu diversifikasi lagi," ungkapnya.
(arj/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Catatan 5 Ekonom: PDB RI Melambat, Sinyal Waspada Menyala!