Dunia Kacau Balau, Geng Negara-Negara 'Middle Power' Rapatkan Barisan
Jakarta, CNBC Indonesia - Negara-negara yang mengkategorikan diri sebagai kekuatan tengah (middle power) dan tergabung ke dalam MIKTA (akronim dari Meksiko, Indonesia, Korea Selatan, Turki, dan Australia) kini semakin berupaya mempromosikan penguatan prinsip multilateralisme atau kerja sama erat antar negara, baik dari sisi ekonomi, sosial, hingga politik.
Langkah ini kian mencuat setelah unilateralisme mendominasi tatanan global saat ini, seusai negara-negara superpower seperti Amerika Serikat cenderung meninggalkan organisasi kerja sama dunia, mulai dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) hingga menarik diri dari Perjanjian Paris (Paris Agreement).
Di sisi lain, fragmentasi antar negara juga tengah memburuk setelah perang tarif dagang kembali terjadi pada saat masa kepemimpinan periode kedua Presiden AS Donald Trump, di tengah belum berakhirnya konflik bersenjata di berbagai belahan dunia, seperti di Timur Tengah, hingga perang Rusia dan Ukraina.
Berbagai permasalahan itu yang membuat Korea Selatan, sebagai pemegang Keketuaan MIKTA periode Februari 2025-Februari 2026 akan memprioritaskan tiga agenda utama, yakni membangun perdamaian dunia, mendorong keterlibatan pemuda, dan mempercepat capaian tujuan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDG's).
"Prioritas ini tidak saja mencerminkan fokus kebijakan Korea, tetapi juga aspirasi kolektif kita dan middle power kita," kata Wakil Kedutaan Besar Korea Selatan di Indonesia Park Soo-deok dalam acara diskusi di kantor Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI), Jakarta, Kamis (26/6/2025).
Di tengah kondisi dunia yang makin terpecah, Korea Selatan menganggap kelompok kekuatan tengah menjadi sangat signifikan dan penting untuk menonjolkan perannya di kancah global, untuk mempromosikan kembali prinsip-prinsip multilateralisme dan perdamaian dunia.
"Dengan bekerja sama, negara-negara MIKTA dapat memperkuat suara kolektif kita, dan berfungsi sebagai kekuatan penstabil dalam urusan global. Peran kekuatan tengah saat ini tidak pernah lebih penting dari sebelumnya," ucap Park.
Keinginan Park tak mengherankan karena dalam catatan di paper terbitan 2015 berjudul "MIKTA: A Functioning Product of "New" Middle Power-ism?", kelima negara anggota MIKTA mencakup seperempat ekonomi terbesar dunia di G20, dengan jumlah populasi mewakili 500 juta orang, PDB senilai US$ 5,6 miliar dan volume perdagangan total US$ 1,5 triliun.
Saat di bawah keketuaan Meksiko pada 2024 silam, MIKTA juga difokuskan untuk memperkuat promosi terhadap perdamaian, inklusivitas, dan keberlanjutan tatanan global. Hal ini seiring dengan pandangan Meksiko bahwa MIKTA mampu memperkuat hubungan bilateral antar negaranya, mempromosikan kerja sama internasional, dan sebagai ruang konsultasi mengenai isu-isu global yang menjadi kepentingan bersama untuk mendukung tata kelola global yang inklusif dan efektif.
"Meksiko memandang MIKTA sebagai jembatan antara negara maju dan negara berkembang, yang dipandu oleh nilai-nilai bersama seperti demokrasi, penghormatan terhadap hukum internasional, multilateralisme, dan kerja sama internasional," ucap Wakil Kedutaan Besar Meksiko di Indonesia, Alonso Martin Gomez-Favila di Kantor FPCI.
Bagi Indonesia, MIKTA juga menjadi kelompok informal strategis yang dapat dijadikan kendaraan untuk menyuarakan pentingnya multilateralisme untuk membangun kerja sama yang inklusif antar negara-negara dunia. Peran MIKTA bagi Indonesia makin penting saat ini di tengah makin rentannya prinsip multilateralisme di tatanan global.
"Bagi Indonesia, kami percaya bahwa MIKTA merupakan forum strategis untuk membahas isu-isu strategis serta menjadi mitra-mitra strategis, dan kita memiliki hubungan yang sangat baik dengan semua anggota MIKTA. Kita tidak hanya berbicara dimensi politik, tapi juga ekonomi, sosial, dan isu lainnya," tegas Direktur Pembangunan, Ekonomi dan Lingkungan Hidup Kementerian Luar Negeri Indonesia, Tri Purnajaya.
Meski begitu, Ketua Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) Dino Patti Djalal mengingatkan, MIKTA harus terus memperkuat visi maupun tujuan bersamanya sebagai sebuah forum internasional, bila ingin memiliki suara yang kuat untuk menjaga kondusifitas tatanan global sebagaimana forum G7 ataupun OECD.
"Karena begitu Anda memiliki tujuan bersama, Anda bergerak cepat dengan cara yang memberi arti, karena Anda memiliki alasan nyata untuk bertahan sebagai sebuah grup dan maju berdasarkan tujuan bersama itu. Jadi, MIKTA penting karena merupakan pengelompokan kekuatan tengah," ungkap Dino.
Tanpa common purpose, Dino memastikan, MIKTA akan serupa dengan forum, kelompok, atau organisasi internasional lainnya yang hanya bisa mengadakan pertemuan, diskusi, tanpa ada implementasi kebijakan yang kuat dan mempengaruhi dinamika global.
"Jadi, hal terpenting dalam berkelompok, apa pun itu, adalah tujuan bersama. ASEAN kuat, mengapa? Karena memiliki tujuan bersama. EU kuat, mengapa? memiliki tujuan bersama, G7 kuat, mengapa? memiliki tujuan bersama. Sekarang, pertanyaannya adalah, apakah MIKTA memiliki tujuan bersama yang kuat?" tutur Dino.
(arj/haa)