Ngeri! 4 Hal Ini Ancam Ekonomi Indonesia

Arrijal Rachman, CNBC Indonesia
25 June 2025 08:25
suasana pelabuhan tanjung priok
foto : CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto

Jakarta, CNBC Indonesia - ASEAN+3 Macroeconomic Research Office (AMRO) memperkirakan, Indonesia akan menghadapi empat tantangan serius yang berpotensi mengganggu laju pertumbuhan ekonomi.

Untuk mencapai pertumbuhan 7% pun mereka anggap sulit, meskipun AMRO memasang proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2025 jauh lebih tinggi dibanding lembaga lainnya, seperti IMF dan World Bank yang malah memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini hanya menjadi 4,7%.

"Dalam jangka panjang, Indonesia menghadapi tantangan yang dapat menghambat pencapaian status negara berpendapatan tinggi, serta pertumbuhan yang inklusif dan berkelanjutan," dikutip dari laporan terbarunya dalam AMRO Annual Consultation Report: Indonesia-2025. dikutip Rabu (25/6/2025).

"Pertumbuhan ekonomi telah stabil pada angka 5%, solid tetapi masih di bawah target 7% yang dibutuhkan untuk mencapai status negara berpendapatan tinggi pada tahun 2045," tegas AMRO.

AMRO mengklasifikasikan empat risiko yang berpotensi dihadapi Indonesia ke depannya menjadi risiko jangka pendek dan risiko jangka panjang.

Risiko Jangka Pendek

Risiko jangka pendek pertama ialah peningkatan ketidakpastian dalam prospek global yang membebani prospek ekonomi jangka pendek Indonesia. Pemicunya ialah kebijakan proteksionisme di berbagai belahan dunia, dipicu oleh perang tarif dagang oleh pemerintahan Amerika Serikat.

"Dalam skenario ekonomi global melambat secara signifikan, karena kebijakan proteksionis agresif oleh pemerintahan AS yang baru, permintaan global dapat melemah dan berdampak buruk pada ekspor dan pertumbuhan ekonomi Indonesia," ucap tim ekonom AMRO.

Ketidakpastian global ini mereka sebut juga berpotensi memberi dampak lonjakan harga komoditas, yang ujungnya ialah akan memberikan tekanan inflasi kepada Indonesia dan negara-negara dunia, hingga membatasi ruang gerak Bank Sentral untuk menyediakan iklim suku bunga acuan yang longgar.

"Potensi lonjakan harga komoditas global akan memberikan tekanan ke atas pada inflasi dan membatasi pilihan kebijakan pemerintah untuk mendukung perekonomian di bawah skenario global yang buruk ini," tulis AMRO Dalam laporannya.

Risiko kedua ialah terkait dengan volatilitas aliran modal asing dan makin tingginya beban bunga pinjaman atau utang pemerintah. Penyebabnya ialah potensi lonjakan inflasi di AS bisa membuat bank sentral Amerika Serikat The Federal Reserve atau The Fed untuk mempertahankan tren suku bunga acuan di level tinggi untuk jangka waktu yang lama.

"Menyebabkan aliran modal global lebih ketat, ditambah terpaksanya pemerintah untuk menaikkan imbal hasil obligasinya, sebagai respons terhadap arus keluar modal dan depresiasi nilai tukar," kata tim ekonom AMRO dalam laporannya.

Tim ekonom AMRO memperkirakan, peningkatan imbal hasil obligasi pemerintah tersebut akan memperberat beban pembayaran bunga pemerintah, yang sudah meningkat sebesar 17,2% dari total pendapatan pada 2024, setara dengan 2,2% dari PDB.

Risiko Jangka Menengah-Panjang

Risiko jangka menengah hingga panjang menurut tim ekonomi AMRO ialah terkait potensi sulit membaiknya kinerja penerimaan negara saat kebutuhan belanja untuk merealisasikan program-program prioritas sangat besar.

Potensi terus tertekannya penerimaan negara ini menurut AMRO akan terjadi meskipun ada langkah-langkah reformasi pajak, termasuk normalisasi tarif PPN 12% untuk barang dan jasa nonmewah. "Pengumpulan pendapatan negara kemungkinan akan tetap terbatas pada 12,8% dari PDB pada 2029," dikutip dari laporan terbaru AMRO.

Di sisi pengeluaran, AMRO memprediksi perluasan program prioritas dapat meningkatkan pengeluaran pemerintah hingga 16% dari PDB. Hal ini dapat menyebabkan defisit fiskal yang lebih tinggi daripada target jangka menengah pemerintah dan utangnya dapat melampaui 40% dari PDB.

Adapun risiko keempat, ialah permasalahan di berbagai sektor ekonomi yang terus terjadi hingga menyebabkan hambatan struktural. Misalnya, ialah hambatan pada kebijakan hilirisasi yang selama ini terlalu fokus pada industri nikel untuk memacu industri kendaraan listrik atau EV.

Padahal, baru-baru ini kata AMRO muncul alternatif yang lebih murah seperti baterai lithium iron phosphate (LFP) yang berpotensi dapat mengurangi permintaan baterai berbasis nikel, sehingga akan menjadi tantangan bagi daya saing Indonesia.

"Di sisi domestik, kurangnya keterkaitan antara perusahaan hulu, tengah, dan hilir dalam rantai pasokan baterai listrik dalam hal spesifikasi material, infrastruktur, dan teknologi dapat menyebabkan fragmentasi dan inefisiensi," tulis AMRO dalam laporannya.

Di sisi lain, Indonesia menurut mereka tengah menghadapi masa-masa deindustrialisasi dini karena makin merosotnya pangsa industri manufaktur terhadap PDB. AMRO mencatat distribusi industri manufaktur dalam PDB Indonesia telah turun menjadi 18% pada 2022 dari sebelumnya di kisaran 27% pada 1997.

Risiko lainnya Indonesia menghadapi tantangan untuk membiayai proses transisi menuju ekonomi rendah karbon. Sebab, investasi yang dibutuhkan untuk memenuhi target NDC (Nationally Determined Contribution) 2030 diperkirakan mencapai Rp 4.002 triliun secara total dari tahun 2018-2030, atau Rp 308 triliun per tahun. Sementara itu, anggaran negara tahunan hanya mengalokasikan Rp 77,8 triliun rata-rata dari tahun 2018-2023.

Risiko terakhir ialah Indonesia terus menghadapi tantangan dalam memperluas opsi pembiayaan karena masih belum optimalnya inklusi keuangan tanah air. Mengutip data Bank Dunia pada 2021, AMRO menyebut Indonesia memiliki populasi tak tersentuh perbankan terbesar keempat di dunia, dengan sekitar 48% orang dewasa tidak memiliki rekening bank.

"Rasio kredit sektor swasta terhadap PDB pun masih terendah di antara negara-negara ASEAN lainnya," ungkap AMRO.


(arj/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Dunia Tahun Ini Kembali Gelap, Sri Mulyani: Tekanannya Bertubi-Tubi

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular