Lebaran Tinggal Sepekan Lagi, Daya Beli Warga RI Aman?

Arrijal Rachman, CNBC Indonesia
24 March 2025 08:35
Aktivitas pengunjung di Terowongan Blok-M, Jakarta, Selasa (7/1/2025). Terowongan yang menghubungan pusat perbelanjaan Blok M Mal dengan pusat perbelanjaan Blok M Square kembali dihidupkan oleh jajanan kekinian. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Aktivitas pengunjung di Terowongan Blok-M, Jakarta, Selasa (7/1/2025). Terowongan yang menghubungan pusat perbelanjaan Blok M Mal dengan pusat perbelanjaan Blok M Square kembali dihidupkan oleh jajanan kekinian. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Daftar Isi

Jakarta, CNBC Indonesia - Tinggal sepekan lagi puasa Ramadan berakhir, ditandai dengan masuknya Hari Raya Idulfitri 1446 H atau Lebaran 2025, yang diperkirakan jatuh pada Senin, 31 Maret 2025.

Namun, suasana Lebaran tahun ini terbilang berbeda, bila merujuk sejumlah data-data ekonomi yang ditelusuri tim riset CNBC Indonesia. Data-data itu menunjukkan dugaan masih lemahnya daya beli masyarakat, bahkan menjelang Lebaran.

Berikut ini data-data yang menggambarkan besarnya dugaan pelemahan daya beli masyarakat jelang Lebaran 2025:

1. Impor Barang Konsumsi Merosot

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan neraca perdagangan Indonesia mengalami surplus neraca perdagangan pada Februari 2025. Surplus kedua pada 2025 ini mencapai US$ 3,12 miliar, dipicu oleh nilai impor yang lebih rendah yakni US$ 18,86 miliar, sementara ekspor mencapai US$ 21,98 miliar.

Ini adalah surplus selama 58 bulan beruntun sejak Mei 2020. Namun, surplus tersebut lebih rendah dibandingkan Januari 2025 yang mencapai US$3,45 miliar.

Dari sisi impor, volume impor barang konsumsi pada Februari 2025 atau menjelang Ramadan dan Lebaran merosot tajam. Membuat kalangan ekonom mewanti-wanti data itu menjadi bukti nyata daya beli masyarakat tengah ambruk.

Total impor barang konsumsi per Februari 2025 hanya sebesar US$ 1,47 miliar, atau merosot 10,61% (mtm) dibanding data per Januari 2025 yang sebesar US$ 1,64%. Dibanding Februari 2024 yang senilai US$ 1,86 miliar malah merosot lebih dalam, yaitu 21,05% (yoy).

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, penurunan impor barang konsumsi ini sejalan dengan kondisi deflasi bahan makanan sebesar -0,7% secara bulanan atau month to month (mtm) per Februari 2025 yang sebesar 0,93% mtm.

Kondisi itu menandakan daya beli masyarakat sangat rendah, sehingga permintaan barang sangat minim di dalam negeri. Tak adanya permintaan membuat harga-harga barang turun, bahkan tak perlu dipenuhi dari impor.

Bhima berpendapat, turunnya impor barang konsumsi menjelang masa Lebaran atau Idul Fitri 2025 maupun memasuki masa Ramadan tak pernah terjadi sebelumnya. Pada 2024 saja, angka impor barang konsumsi naik baik secara mtm maupun yoy.

Selain menilai kondisi impor barang konsumsi yang turun merupakan kondisi anomali jelang Lebaran, ia menegaskan, seharusnya impor barang konsumsi tengah terbuka lebar akibat kebijakan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024.

Senada, Kepala Ekonom PT Bank Mandiri Tbk Andry Asmoro mengungkapkan impor barang konsumsi turun 21,05% (yoy), menunjukkan melemahnya daya beli domestik, terutama di kalangan kelas menengah ke bawah.

2. Deflasi Tahunan Muncul Setelah Tidur 2 Dekade

Deflasi periode Februari 2025 sangat mengejutkan banyak pihak apalagi hal ini terjadi satu bulan sebelum Ramadan di Maret 2025.

Badan Pusat Statistik (BPS) pada 3 Maret 2025 telah mengumumkan Indeks Harga Konsumen (IHK) turun atau mengalami deflasi baik secara bulanan (% mtm) dan tahunan (% yoy) yang masing-masing turun sebesar 0,48% dan 0,09%. Untuk deflasi tahunan yang sebesar 0,09% baru kembali muncul setelah 25 tahun lalu, yakni pada 2000 ketika terjadi deflasi tahunan 1,10%.

Sejak era krisis 1997/1998, Indonesia hanya mengalami dua kali deflasi (yoy) yakni pada Maret 2000 dan Februari tahun ini. Artinya, fenomena deflasi tahunan hanya terjadi 25 tahun yang lalu.

Terjadinya deflasi pada Maret 2000 lebih disebabkan karena inflasi pada periode sebelumnya sangat tinggi, Inflasi pada Maret 1999 menembus 45%.

3. Banjir PHK Makin Mengerikan

Kondisi masyarakat Indonesia pun makin menderita, apalagi usai jumlah pekerja Indonesia yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) makin meningkat. Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mencatat 3.325 pekerja terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) per Januari 2025.

Sehingga jika ditotal, jumlah tenaga kerja yang terkena PHK telah mencapai 81.290 tenaga kerja per Januari 2025. Angka ini meningkat 4,26% dari Desember 2024 sebesar 77.965.

4. Tabungan Masyarakat Terkuras

Di tengg isu daya beli masyarakat yang melemah, tingkat tabungan kelompok bawah terus dalam tren yang melemah dan merupakan yang terendah saat ini yakni pada level 79,4 (Februari 2025). Angka ini lebih rendah dibandingkan Februari 2024 yakni pada level 82,4.

Senada, tingkat tabungan kelompok menengah juga melandai dan merupakan yang terendah sejak Maret 2024.

5. Pusat Perbelanjaan Sepi

Pada awal bulan Ramadan, suasana di pusat perbelanjaan tampak lebih sepi dibandingkan hari-hari biasa dan Ramadan pada tahun-tahun sebelumnya. Berdasarkan pantauan CNBC Indonesia, pada beberapa mal di wilayah pusat dan selatan Jakarta situasinya tampak sepi.

Jika melihat Data Mandiri Spending Index (MSI), nilai belanja masyarakat terjadi perlambatan di satu minggu menjelang Ramadan yakni ke 236,2. Pola ini merupakan anomali karena tidak terjadi di tahun-tahun sebelumnya. Mandiri Spending Index (MSI) yang menurun jelang Ramadhan terakhir kali terjadi pada Maret 2020 atau lima tahun yang lalu dengan nilai 58.

Para bankir pun buka suara mengenai kondisi ini. Mereka mengakui bahwa fenomena daya beli memang masih melanda masyarakat RI.

Direktur PT Bank OCBC NISP Tbk. (NISP), Johannes Husin mengatakan bahwa kondisinya saat ini, belanja pemerintah dan konsumsi domestik Indonesia dan negara-negara lain menurun. Ia berharap berharap mendekati Hari Raya Idul Fitri, akan ada peningkatan daya beli masyarakat.

"Kita memang sudah melihat trend [daya beli masyarakat menurun] ini sejak beberapa bulan lalu juga, dan memang kondisi pasaran ini memang menunggu. Jadi saat ini untuk negara kita, pemilu sudah selesai, hari raya akan datang, ada peningkatan terkait hal tersebut," ujar Johannes saat Paparan Publik Tahunan di OCBC Tower, Kamis (20/3/2025).

PT Bank CIMB Niaga Tbk. (BNGA) juga mengakui aktivitas belanja masyarakat di bulan Ramadan ini kian sepi, berbeda dengan periode-periode sebelumnya. Menurut Presiden Direktur CIMB Niaga Lani Darmawan, terlihat simpanan masyarakat juga "mengetat" yang membuat mereka enggan untuk belanja.

"Kami melihat tidak terlihat lonjakan belanja di Ramadan ini, yang biasanya terjadi. Jadi kelihatannya daya beli lemah. Terlihat juga dengan likuiditas tabungan masyarakat yang sangat ketat. Sehingga kelihatan ada pengetatan ikat pinggang untuk belanja secara natural," ujar Lani.

Ia menyebut lesunya aktivitas belanja masyarakat ini terjadi secara keseluruhan baik secara langsung di merchant maupun secara online.

"Betul [ada pengetatan belanja baik offline maupun online] Bukan penurunan, per se tapi relatively flat di festive season, artinya memang kemampuan menurun," terang Lani.


(arj/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article 10 Juta Orang Kaya RI Doyan Jajan di LN, Bisa Habiskan Rp324 T

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular