Di Balik Kasus Penangkapan Duterte, Pakar Hukum Indonesia Bilang Gini!

Khoirul Anam, CNBC Indonesia
19 March 2025 20:45
Mantan Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, muncul pada hari Jumat (14/03) melalui tautan video di hadapan para hakim di Mahkamah Pidana Internasional ICC di Den Haag, Belanda, beberapa hari setelah penangkapannya di Manila. (Peter Dejong/Pool via REUTERS)
Foto: Mantan Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, muncul pada hari Jumat (14/03) melalui tautan video di hadapan para hakim di Mahkamah Pidana Internasional ICC di Den Haag, Belanda, beberapa hari setelah penangkapannya di Manila. (Peter Dejong/Pool via REUTERS)

Jakarta, CNBC Indonesia- Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran sekaligus Mantan Ketua Komisi Yudisial Indonesia, Prof Eman Suparman, menanggapi penangkapan Mantan Presiden Filipina Rodrigo Duterte.

Penangkapan tersebut dilakukan berdasarkan surat perintah dari Mahkamah Pidana Internasional (ICC) yang mendakwa Duterte melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan selama pelaksanaan kampanye pemberantasan narkoba yang kontroversial pada masa jabatannya (2016-2022).

Menurut dia ICC kehilangan landasan hukum karena pada 2019 Filipina keluar dari keanggotaan. Selain masalah waktu, yurisdiksi yang diklaim ICC membutuhkan persyaratan.

"Perlu diingat bahwa biasanya diperlukan dukungan hukum dalam negeri apabila hukum internasional hendak ditegakkan, misalnya berlakunya Konvensi New York bagi Indonesia sebagai hukum internasional membutuhkan Keppres No.34 Tahun 1981 sebagai dukungan hukum dalam negeri," kata dia dikutip Rabu (19/3/3025).

Untuk itu, lanjut Eman, sumber hukum dalam negeri Filipina mengenai yurisdiksi ICC harus ada terlebih dahulu.

"Meskipun ICC menyatakan investigasi telah dimulai sebelum Filipina keluar, saya lebih cenderung pada pendirian bahwa landasan hukum yurisdiksi ICC telah tidak ada," terang dia.

Diketahui Duterte ditangkap pada 11 Maret 2025 sesaat tiba di Bandara Internasional Manila dari Hong Kong. Saat ini, Duterte ditahan di pusat penahanan ICC di Den Haag, Belanda, dan dijadwalkan menghadiri persidangan perdana dalam beberapa hari mendatang.

ICC mendakwa bahwa kebijakan "perang terhadap narkoba" yang diterapkan Duterte mengakibatkan tewasnya sekitar 6.000 orang. Meski Filipina secara resmi menarik diri dari keanggotaan ICC pada 2019, mahkamah internasional tersebut tetap menyatakan memiliki yurisdiksi atas kasus ini dengan alasan bahwa proses investigasi dimulai sebelum Filipina resmi keluar dari keanggotaan.

Eman menjelaskan tindakan hukum selalu harus menjunjung prinsip rasionalitas dan proporsionalitas dan tidak boleh berlebihan, baik dalam penerapan sanksi administratif maupun pidana.

"Sebagai mantan Presiden Filipina, Duterte telah memberikan kontribusi besar dalam upaya pemberantasan narkoba, dan memang benar bahwa pemberantasan narkoba memerlukan ketegasan," terang dia.

Eman juga menegaskan penangkapan seseorang tidak boleh dilakukan secara sewenang-wenang, karena berpotensi melanggar hak asasi manusia (HAM) secara serius.

"Contohnya, seorang tersangka tindak pidana berhak memperoleh makanan dan minuman sesuai kebutuhan, berhak mendapatkan pelayanan kesehatan apabila sakit, serta berhak memperoleh bantuan dari advokat dan sebagainya.

Menurut dia, hukum internasional tidak dapat diberlakukan di suatu negara tanpa adanya ratifikasi oleh pihak berwenang negara. Dengan demikian apabila terjadi kekosongan hukum nasional dan hukum internasional langsung mengambil alih, terdapat potensi besar terjadinya pelanggaran terhadap kedaulatan negara dicederai.

"Terlebih lagi, mengingat Filipina telah resmi keluar dari keanggotaan ICC. Sekalipun terdapat peraturan dalam negeri yang mendukung, peraturan tersebut juga tidak dapat diberlakukan secara retroaktif untuk menghidupkan kembali konvensi internasional yang sudah tidak berlaku lagi," terang dia.

Di sisi lain, dia juga menyebut kasus ini sejak awal berwarna politik atau dipolitisasi. Menurut dia, kunci untuk mempertahankan kemurnian hukum dan mencegah penyalahgunaan hukum sebagai alat politik terletak pada pengembangan mekanisme interaksi yang harmonis antara hukum dan politik

Sementara itu, tambah Eman, kemandirian dan kewibawaan negara hukum diwujudkan melalui pembatasan kelembagaan, ketentuan prosedural, serta keseimbangan nilai.

"Oleh karena itu, keadilan formil itu sangat penting. Lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif harus sama-sama memiliki kesadaran terhadap keadilan formal karena keadilan formal merupakan jaminan bagi terwujudnya keadilan substantif," pungkas Eman.

Lebih lanjut, Dokumen ICC yang terungkap ke publik memaparkan bahwa pemerintah Presiden Ferdinand Marcos Jr. melakukan koordinasi dengan ICC sebelum penangkapan tersebut. Hal ini bertentangan dengan pernyataan resmi Marcos yang sebelumnya membantah adanya keterlibatan pemerintahnya.

Adapun dalam proses penangkapan Duterte, kepolisian Filipina berkoordinasi dengan Interpolterkait pelaksanaan Red Notice. Tetapi Eman menjelaskan sebenarnya Red Notice tidak memiliki kekuatan hukum.

"Dengan kata lain, untuk mengeksekusi Red Notice diperlukan koordinasi dengan pihak berwenang di dalam negeri Filipina," jelas Eman.


(dpu/dpu)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Eks Presiden Tetangga RI Ngaku Punya Regu Kematian buat Bunuh Penjahat

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular