Global Energy Outlook

Konsumsi Energi RI Masih di Bawah Pemakaian Minimum Dunia

Firda Dwi Muliawati, CNBC Indonesia
Selasa, 18/02/2025 10:58 WIB
Foto: Direktur Energi & Ekonomi ExxonMobil, Chris Birdsall menyampaikan pemaparan dalam acara Road To Outlook Energy Edition With ExxonMobil bertajuk "Energy Demand and Supply Outlook Through 2050" di Jakarta, Selasa (18/2/2025). (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)

Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia menjadi negara yang memiliki sumber daya energi yang beragam dan signifikan. Namun, tingkat konsumsinya masih di bawah rata-rata global. Hal ini diungkapkan oleh Chris Birdsall, Director Economics and Energy ExxonMobil Corporation, dalam acara CNBC Indonesia Road to Outlook - Energy Edition with ExxonMobil dengan tema "Energy Demand and Supply Outlook Through 2050" di Jakarta, Selasa (18/2/2025).

Chris mengatakan konsumsi energi per individu di dunia, berdasarkan data Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), mencapai sekitar 50 juta British Thermal Unit (BTUs). Namun, dari data Exxon, konsumsi energi untuk rumah tangga modern di negara maju rata-rata mencapai 20 juta BTUs.

"20 juta BTUs ini masih berada di bawah rata-rata minimum 50 juta BTUs yang saya sampaikan," ujar Chris.


Dia pun menegaskan bahwa energi tidak hanya dibutuhkan untuk rumah tangga modern, tetapi juga transportasi penumpang dan transportasi komersial untuk memindahkan barang dan jasa di seluruh dunia.

Cukup mengejutkan, menurutnya, konsumsi energi di sektor bisnis dan manufaktur dunia merupakan yang terbesar di dunia. Ini terjadi karena konsumsi energi sektor ini merupakan pendorong untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan lapangan pekerjaan.

Chris pun mengatakan Indonesia juga memerlukan sumber daya energi untuk menopang ekonominya. Namun, dia menyampaikan fakta menarik konsumsi energi di Indonesia masih berada di bawah rata-rata dunia, yakni 50 juta BTUs.

"Indonesia, negara berkembang lainnya di Asia, Afrika Sub-Sahara, di sisi lain 4 miliar orang di dunia, masih di bawah minimum energi modern tersebut," kata Chris.

Untungnya, lanjut Chris, data ini tidak statis atau terus berkembang. Dia melihat pertumbuhan konsumsi dan ketersediaan energi yang luar biasa di Indonesia dan beberapa wilayah lain. Ini merupakan kabar baik, tetapi hal ini dibarengi dengan tingkat emisi karbon yang tinggi. Masalah lainnya adalah solusi emisi karbon rendah umumnya mahal.

"Dan bagi suatu negara untuk beralih ke opsi emisi rendah, seperti gas alam atau nuklir atau (pembangkit dengan) emisi karbon lebih sedikit, itu meningkatkan biaya listrik hingga 50%," ujar Chris.

"Dan itu karena saat ini, solusi dengan emisi rendah umumnya lebih mahal. Dan ini adalah salah satu contoh pembangkitan listrik di kawasan Asia-Pasifik, di mana saat ini batu bara domestik merupakan sumber pembangkitan listrik yang paling melimpah, domestik, dan berbiaya paling rendah. Jadi tidak mengherankan bahwa di Asia-Pasifik, hampir dua pertiga listrik dihasilkan oleh batu bara.

Dan bagi suatu negara untuk beralih ke opsi emisi rendah, seperti gas alam atau nuklir, emisi karbon lebih sedikit, emisi partikulat lebih sedikit, tetapi itu meningkatkan biaya listrik hingga 50%.


(haa/haa)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Sengketa Pulau Tujuh, Gubernur Babel Gugat Mendagri