Kontroversi di Balik Mendadaknya Usulan Revisi UU Minerba

Verda Nano Setiawan, CNBC Indonesia
22 January 2025 09:45
Tambang batu bara Asam-Asam yang dikelola PT Arutmin, anak usaha PT Bumi Resources Tbk (BUMI).
Foto: Tambang batu bara Asam-Asam yang dikelola PT Arutmin, anak usaha PT Bumi Resources Tbk (BUMI). (CNBC Indonesia/Firda Dwi Muliawati)

Pasal-Pasal Bermasalah

Aryanto kemudian memerinci sejumlah pasal yang diusulkan dalam penyusunan RUU ini yang sangat bermasalah, diantaranya yakni:

1. Pasal 51 ayat (1) dimana Wilayah Usaha Pertamnangan (WIUP) Mineral logam diberikan kepada Badan Usaha, koperasi, atau Perusahaan perseorangan dengan cara Lelang atau dengan cara pemberian prioritas.

2. Pasal 51A ayat (1) WIUP Mineral logam dapat diberikan kepada perguruan tinggi dengan cara prioritas.

3. Pasal 51B ayat (1) WIUP Mineral logam dalam rangka hilirisasi dapat diberikan kepada badan usaha swasta dengan cara prioritas.

4. Pasal 75 ayat (2) Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah, badan usaha swasta atau badan usaha yang dimiliki oleh organisasi kemasyarakatan keagamaan.

"Kami menduga, Penyusunan Rancangan UU Minerba untuk memuluskan upaya mekanisme pemberian izin untuk badan usaha milik Ormas. Ditambah pula dengan Badan Usaha milik Perguruan Tinggi (PT) dan UMKM - menggunakan banyak kalimat - atau diberikan secara Prioritas," ujarnya.

Ia menilai bahwa hal ini merupakan bentuk lain dari "jor-joran" izin tambang yang membahayakan bagi keberlanjutan, baik di batu bara maupun mineral.

Selain itu, ini menunjukkan Pemerintah mengakui bahwa Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara bertentangan dengan UU, sehingga perlu mengubah UU Minerba.

Dalam konteks pemberian WIUP secara prioritas kepada perguruan tinggi (PT) misalnya. Menurut Aryanto, seharusnya perguruan tinggi fokus pada penyiapan SDM, pengetahuan, dan kapasitas yang mendukung hilirisasi industri pertambangan yang mendukung percepatan transisi energi.

Dalam konteks hilirisasi, PT bisa bermain peran dalam mendukung adanya Transfer of Knowledge dari Investor, membuat lab-lab yang mendukung industri, dan menghasilkan banyak paten. "Bukan malah membuat badan usaha milik PT!" ungkap Aryanto.

Sementara, Peneliti Indonesia Parliamentary Center (IPC), Arif Adiputro menilai bahwa secara formil dalam pembentukan Undang-Undang (UU) berdasarkan Pasal 23 UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (PPP) dijelaskan UU yang masuk kumulatif terbuka seharusnya mengakomodir putusan MK di luar putusan MK tidak bisa dibahas, jika mau dibahas harus ditetapkan dalam Prolegnas prioritas tahunan.

"Dalam hal ini DPR gagal memahami dalam proses pembentukan UU dan melanggar konstitusi. Selain itu, dengan disahkan UU Minerba dalam waktu singkat tanpa mempertimbangkan masukan masyarakat DPR dinilai tidak belajar dari problem sebelumnya mengenai meaning full participation atau partisipasi bermakna," ujarnya.

Padahal di UU PPP dijelaskan bahwasanya UU yang masuk kumulatif terbuka maupun yang masuk Prolegnas harus melibatkan partisipasi masyarakat dalam penyusunannya.

Menurut dia, konsekuensi dari pengesahan UU minerba yang terburu-buru akan mengakibatkan kurangnya legitimasi dari masyarakat dan menimbulkan konflik di kemudian hari. Kemudian implementasi dari undang-undang tersebut tidak berjalan optimal.

Lalu, seperti apa proses revisi UU Minerba hingga akhirnysa disahkan sebagai Undang-Undang? Bersambung di halaman berikutnya.

(wia)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular