
Para Ahli Kritik PPN 12%, Kantong Warga Siap-siap Boncos Parah!

Jakarta, CNBC Indonesia - Sejumlah kalangan ekonom memiliki pandangan berbeda dengan pemerintah dalam melihat potensi tekanan inflasi saat pajak pertambahan nilai (PPN) naik menjadi 12% per 1 Januari 2025.
Bagi pemerintah, tarif PPN 12% tidak akan banyak mendorong tekanan inflasi. Mereka berkaca dari kebijakan kenaikan tarif PPN dari 10% menjadi 11% per April 2022 yang tak membuat inflasi meroket hingga saat ini.
Pemerintah mencatat tekanan inflasi rata-rata pada 2022 yang di level 5,51% lebih disebabkan kenaikan harga minyak mentah dan minyak goreng. Namun, per 2023-2024 rata-rata menjadi 2,08%.
"Jadi inflasi terus terjaga rendah," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat konferensi pers di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Selasa (17/12/2024).
Berbeda dengan perhitungan Sri Mulyani, Center of Economic and Law Studies (Celios) dalam laporannya berjudul PPN 12%: Pukulan Telak Bagi Dompet Gen Z dan Masyarakat Menengah ke Bawah memperkirakan pada 2025 inflasi akan mencapai 4,11%.
"Estimasi inflasi meningkat menjadi 4,1%," kata Direktur Kebijakan Publik Celios Media Wahyudi Askar.
Tekanan pada inflasi bahkan Celios terjadi sebelum kebijakan tarif PPN 12% berlaku di Januari 2025. Terdapat fenomena pre-emptives inflation atau inflasi yang mendahului tarif pajak baru.
Pre-emptives inflation menurut Celios berasal dari prilaku sebagian pelaku sektor usaha ritel, dan manufaktur yang menyesuaikan label harga untuk menjaga marjin keuntungan sebelum pemberlakuan tarif PPN yang baru.
Kekhawatiran pre-emptives inflation bisa dibaca dari ekspektasi kenaikan harga pada akhir tahun 2024 hingga kuartal I 2025, selain karena momentum seasonal libur natal tahun baru, terindikasi akibat pemberlakuan tarif PPN 12%.
"Kenaikan PPN menjadi 12% menambah pengeluaran kelompok miskin sebesar Rp101.880 per bulan, memperburuk kondisi ekonomi mereka. Sementara itu, kelompok kelas menengah mengalami kenaikan pengeluaran sebesar Rp354.293 per bulan," ucap Media.
Tekanan inflasi ini ia tegaskan akan memperburuk fenomena penurunan kelas menengah menjadi kelas menengah rentan.
Perkiraan serupa juga disampaikan oleh Direktur Riset Bright Institute M. Andri Perdana. Ia bahkan memperkirakan tekanan inflasi pada 2025 bisa akan mencapai 4,8%, dari yang saat ini di level bawah 2%.
"Kita baru menghitung potensi pertumbuhan konsumsi rumah tangga akan kembali turun menjadi di bawah 4,8%, lebih rendah dari 2023 yang sebenarnya sudah lebih rendah dari 2022," tegas Andri.
Dengan besarnya tekanan inflasi itu, Andri bahkan memperkirakan, ekonomi kelas menengah akan kembali tertekan akibat tekanan inflasi itu.
"Untuk angka tekanan inflasi dan penurunan kelas menengah kita belum proyeksikan angkanya, tapi dari sini kita bisa sangat melihat bahwa tendensinya akan berdampak negatif terhadap dua indikator tersebut," kata Andri.
Andri menjelaskan, menaikkan tarif PPN ke 12% kepada barang-barang premium saja yang sebelumnya dibebaskan PPN sangat berpotensi mendorong harga barang non-premium ikut naik.
Ini disebabkan karena kenaikan harga barang premium bisa mendorong peralihan permintaan dari barang premium ke barang non-premium atau inferior goods, misalnya yang tadinya membeli beras, buah, minyak, dan ikan premium bisa beralih ke beras, buah, minyak, dan ikan non-premium.
"Meningkatnya tingkat permintaan di barang non-premium ini bisa mendorong harga-harga barang tersebut ikut naik, dan apalagi perlu diingat, bahwa sejatinya banyak barang premium tersebut selama ini banyak dibeli kelas menengah yang memilih barang terbut oleh karena lebih kepada faktor aksesibilitas dan ketersediaan dibandingkan kemewahan, seperti beras ataupun minyak goreng premium," ucap Andri.
Sementara itu, Ekonom Senior Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menganggap, inflasi tidak akan melejit, karena situasi ekonomi kita sedang lamban, dan kenaikan PPN 1% tidak terlalu berdampak pada harga.
Tetapi, ia mengingatkan, dalam konteks ini Pemerintah perlu memastikan tidak muncul perilaku aji mumpung, dimana pelaku usaha menaikkan harga setinggi-tingginya, dengan memanfaatkan momentum kenaikan PPN, karena hal ini berpotensi mendongkrak inflasi dan menggerus daya beli.
"Dari berbagai kebijakan ekonomi yang baru saja dikeluarkan (tiket pesawat turun, UMP naik, PPN naik), cenderung menguntungkan pemerintah, relatif netral bagi masyarakat, tetapi sangat membebani dunia usaha," kata Wija.
"Pemerintah perlu lebih fair, dgn mengeluarkan kebijakan yang pro dunia usaha, sehingga dunia usaha yang mengalami stagnasi dlm beberapa waktu terakhir, bisa menggeliat, mendorong pertumbuhan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja," paparnya.
(arj/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Tak Ada Pembatalan, PPN Naik Jadi 12% di 2025 Sesuai UU!