Untuk mendapatkan suara ini, diberlakukan sistem "the Winner Take All" atau pemenang meraup semuanya. Jadi kemenangan tipis saja dalam popular vote di sebuah negara bagian dapat mengamankan seluruh suara elektoral negara tersebut.
Di Amerika sendiri, California merupakan negara bagian yang memiliki paling banyak suara elektoral, dengan jumlah 54 suara. Sementara yang terkecil dipegang oleh North Dakota, South Dakota, Wyoming, dan Vermont dengan kepemilikan sebesar tiga suara saja.
Dalam pemilihan kali ini, menurut hasil penghitungan terbaru Associated Press (AP), Trump unggul dengan memperoleh 295 suara elektoral. Sementara itu, pesaingnya dari Partai Demokrat, Kamala Harris, sejauh ini hanya memperoleh 226 suara saja.
Popular Vote adalah suara yang benar-benar didapatkan dari para pemilih. Menurut hasil penghitungan terbaru Associated Press (AP), Trump unggul dengan memperoleh 72.623.882 suara sementara Kamala Harris hanya memperoleh 67.927.989 suara.
Di luar dua calon tersebut, ada juga dua calon yang mencalonkan diri dalam pemilihan yakni Jill Stein dari Partai Hijau, yang memperoleh 641.062 suara, dan calon independen Robert Kennedy yang mendapatkan 641.062 suara.
Swing State adalah negara bagian yang mengambang secara politik di AS karena corak politiknya yang tidak begitu memihak pada calon tertentu sebelum pemilihan. Dalam pemilihan kali ini, ada tujuh Negara Bagian yang tergolong Swing State yakni Michigan, Wisconsin, Pennsylvania, Nevada, Arizona, North Carolina, dan Georgia.
Secara umum hingga saat ini, Donald Trump telah memenangkan seluruh Swing State yang ada di Negeri Paman Sam. Berikut peta perolehannya:
Dalam pidato kemenangannya, Trump mengucapkan terima kasih kepada miliarder Elon Musk yang mendukungnya. Ia menyebut Musk sebagai orang yang jenius dan perlu dipertahankan.
"Semua orang di sini hebat. Semua orang di sini sangat istimewa. Tapi, izinkan saya memberitahu Anda, kami memiliki bintang baru. Bintang itu adalah Elon (Musk). Dia menghabiskan 2 minggu di Philadelphia, berbagai bagian Pennsylvania untuk berkampanye," ungkapnya.
"Dia adalah karakter. Dia pria yang istimewa. Dia seorang jenius super," katanya.
Selain itu, ia juga mengungkapkan rasa terima kasih kepada pemilih Muslim. Trump menyebutkan bahwa kelompok Muslim merupakan salah satu unsur yang mendukungnya hingga kembali menang sebagai presiden ke-47 AS.
"Mereka datang dari seluruh penjuru, serikat, non-serikat, Afrika Amerika, Hispanik Amerika, Asia Amerika, Arab Amerika, Muslim Amerika. Kami memiliki semua orang. Dan itu indah," ujarnya.
Halaman 2>>> Respons Biden, Kamala hingga PD 3
5. Reaksi Biden
Presiden AS Joe Biden melakukan panggilan telepon dengan Donald Trump untuk mengucapkan selamat atas kemenangannya dalam pemilihan presiden. Dilansir ABC News, Biden menyatakan komitmennya untuk memastikan transisi yang mulus dan menekankan pentingnya upaya menyatukan bangsa setelah pemilu yang penuh ketegangan, selain mengundang Trump untuk bertemu di Gedung Putih.
6. Reaksi Kamala Harris
Sementara itu, di hadapan pendukungnya, Harris mengakui kekalahan atas Trump. Namun, ia berjanji untuk terus memperjuangkan isu-isu yang ia kampanyekan.
"Meskipun saya mengakui kekalahan dalam pemilihan ini, saya tidak menyudahi pertarungan yang memicu perjuangan ini," katanya.
"Perjuangan untuk kebebasan, untuk kesempatan, untuk keadilan dan martabat semua orang, perjuangan untuk cita-cita di hati bangsa kita, cita-cita yang mencerminkan Amerika yang terbaik. Itu adalah perjuangan yang tidak akan pernah saya lepaskan," tambahnya.
Banyak simpatisan Demokrat takut jika Trump kembali menjabat. Tetapi Harris mendorong mereka untuk tidak diliputi kesedihan.
"Jadi, bagi semua orang yang menyaksikan, jangan putus asa. Ini bukan saatnya untuk menyerah. Ini saatnya untuk bekerja keras. Ini saatnya untuk berorganisasi, memobilisasi, dan tetap terlibat demi kebebasan dan keadilan serta masa depan yang kita semua tahu dapat kita bangun bersama," ujar Harris.
"Ada pepatah yang pernah disebut oleh seorang sejarawan sebagai hukum sejarah, yang berlaku bagi setiap masyarakat di sepanjang masa. Pepatah itu adalah: hanya ketika hari cukup gelap, Anda dapat melihat bintang-bintang. Saya tahu banyak orang merasa kita memasuki masa yang gelap, tetapi demi kebaikan kita semua, saya harap itu tidak terjadi," tambahnya.
7. Kebijakan Ekonomi
Kemenangan Trump disebut akan memberikan dampak besar bagi ekonomi AS dan juga corak politik globalnya. Sejumlah prediksi meramalkan dampak-dampak tersebut dengan berkaca dari kepemimpinan Trump sebagai presiden pada 2017-2021 lalu.
Trump telah menjanjikan perubahan besar pada kebijakan ekonomi jika terpilih kembali. Di antara usulannya adalah tarif tinggi untuk impor, penghapusan pajak atas tip dan tunjangan Jaminan Sosial, dan pengurangan tarif pajak perusahaan.
Menurut The Time, Trump sedang mempertimbangkan tarif universal antara 10% dan 20% untuk semua impor, dengan tarif hingga 60% untuk barang-barang China. Ia berpendapat tarif ini akan melindungi lapangan kerja Amerika dan mengurangi ketergantungan negara pada impor asing.
Trump telah menyatakan bahwa kebijakan ini tidak akan menyebabkan harga yang lebih tinggi bagi warga Amerika, dengan menegaskan bahwa biaya akan ditanggung oleh produsen asing. Masa jabatan sebelumnya adalah mengenakan tarif pada baja dan aluminium, yang dibenarkannya atas dasar keamanan nasional.
Trump juga mengusulkan perpanjangan pemotongan pajak yang disahkan pada tahun 2017. Serta pengurangan tarif pajak perusahaan dari 21% menjadi 15%.
Di sisi lain, biaya energi merupakan isu utama dalam kampanye Trump. Ia telah berjanji untuk memangkas pengeluaran energi warga Amerika hingga setengahnya dalam waktu satu tahun, dengan menyebut produksi energi sebagai hal yang penting untuk menurunkan inflasi.
Trump juga telah mengusulkan perluasan pengeboran minyak dan gas, sembari melonggarkan pembatasan pada pembangkit listrik, sebagai cara untuk menurunkan harga bahan bakar. Ia menyatakan bahwa harga gas dapat turun di bawah US$ 2 per galon dengan peningkatan pasokan domestik.
8. Perang Dagang Jilid 2
Saat Trump kembali duduk sebagai Presiden, pendekatan AS terhadap China akan menjadi sorotan dunia. Hubungan AS-China menjadi isu paling strategis dan memiliki implikasi terbesar bagi keamanan dan perdagangan global.
Saat menjabat, Trump menyebut China sebagai "pesaing strategis" dan mengenakan tarif pada beberapa impor China ke AS. Hal ini memicu tarif balasan oleh Beijing atas impor Amerika.
Trump juga melancarkan perang dagang pada 2018 yang membuat ekonomi China dan dunia ikut terpukul. Ada upaya untuk meredakan sengketa perdagangan, tetapi pandemi Covid menghapus kemungkinan ini, dan hubungan memburuk karena mantan presiden itu menyebut Covid sebagai "virus China".
Kebijakan perdagangan telah menjadi sangat terkait dengan persepsi pemilih domestik di AS tentang perlindungan pekerjaan manufaktur dalam negeri, meskipun sebagian besar penurunan pekerjaan jangka panjang di industri tradisional AS seperti baja lebih banyak disebabkan oleh otomatisasi pabrik dan perubahan produksi daripada persaingan global dan alih daya.
9. Berteman dengan Rusia?
Salah satu hal yang juga disoroti setelah pemilihan ini adalah hubungan AS dan Rusia. Diketahui, hubungan keduanya mulai rusak pasca perang Ukraina, di mana Washington era Biden memberikan dukungan yang kuat bagi Kyiv, yang mendapatkan serangan Rusia.
Presiden Rusia Vladimir Putin telah menyatakan dengan nada bercanda bahwa lebih memilih Harris sebagai presiden. Namun, banyak tanda yang menunjukkan bahwa Putin sebenarnya mendukung kemenangan Trump.
Putin yang membenci sistem demokrasi pasar liberal Barat, berpikir bahwa Trump akan melanjutkan apa yang ia tinggalkan dulu. Di mana Trump justru menabur perpecahan dan kekacauan di internal negara Barat dengan merongrong lembaga-lembaga seperti NATO dan Uni Eropa.
"Putin akan menyukai Trump sebagai presiden karena berbagai alasan," kata Timothy Ash, seorang rekan peneliti di Program Rusia dan Eurasia di Chatham House, kepada Al Jazeera.
10. Kebijakan di Timur Tengah?
Sejumlah pihak mulai memprediksi apa dampak yang dapat terjadi di Timur Tengah bila Trump memimpin Negeri Paman Sam. Pasalnya, wilayah itu akhir-akhir ini bergejolak, dengan sekutu utama AS, Israel, berada dalam pusaran konflik di Dunia Arab itu.
Setelah perang antara Israel dan milisi Gaza Palestina, Hamas, pecah pada tanggal 7 Oktober, beberapa pakar Palestina, baik di AS maupun negara lain, menganggap bahwa hal merupakan muara dari sejumlah faktor. Ini termasuk situasi ekonomi yang buruk di Gaza, serangan berulang-ulang oleh para pemukim Israel di tanah Palestina, dan juga oleh dorongan menormalisasi hubungan antara Arab Saudi dan Israel.
Normalisasi sendiri selaras dengan niatan Trump saat ia memegang jabatan Presiden AS pada masa 2017-2021 lalu. Dengan bantuan menantunya Jared Kushner, Menteri Luar Negeri Mike Pompeo, dan pengacaranya Jason Greenblatt, pemerintahan mulai bekerja untuk melihat bagaimana mereka dapat lebih membantu Israel.
Trump mengakhiri tahun pertamanya menjabat dengan langkah kebijakan luar negeri yang penting untuk mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Keputusan tersebut berbeda dari kebijakan bipartisan selama puluhan tahun bagi presiden AS untuk tidak membuat pernyataan tersebut.
Pengusaha yang menjadi presiden tersebut kemudian memanfaatkan langkah ini beberapa bulan kemudian dengan memindahkan kedutaan besar AS di Israel ke Yerusalem. Dan pada bulan Maret 2019, ia menandatangani perintah eksekutif yang mengakui kedaulatan Israel atas Dataran Tinggi Golan Suriah yang diduduki.
Pergeseran kebijakannya terhadap Israel tidak hanya berfokus pada klaim Israel atas tanah yang diduduki, karena pemerintahan Trump juga menarik diri dari Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa, dengan alasan bahwa badan internasional tersebut menunjukkan bias negatif terhadap Israel.
Jurnalis Middle East Eye dan pengamat Timur Tengah, Umar Farooq, mengatakan bahwa hal ini menunjukan dukungan Trump yang masih akan kuat terhadap Negeri Zionis tersebut. Hal ini juga didasari basis pendukung Trump yang kebanyakan sepakat dengan paham Zionisme, yang saat ini dianut oleh Israel.
"Trump menerima, dan masih terus menerima, dukungan besar dari gerakan Zionis evangelis AS. Gerakan Zionis Kristen merupakan kekuatan utama dalam politik konservatif," ungkapnya.
Di bawah Trump, Israel berhasil menormalisasi hubungan dengan empat negara Arab yakni Uni Emirat Arab, Bahrain, Sudan, dan Maroko. Namun, kesepakatan tersebut, yang sebagian besar dianggap sebagai upaya untuk mengorbankan Palestina demi keuntungan ekonomi marjinal.
"Meskipun demikian, di Washington, perjanjian normalisasi tersebut disambut dengan persetujuan bipartisan yang besar, termasuk dari para kritikus Trump sendiri," katanya.
"Dan sejak Biden menjabat, pemerintahannya telah berupaya untuk membangun kesepakatan tersebut dengan mencoba menjadi penengah perjanjian yang akan menormalisasi hubungan antara Arab Saudi dan Israel," tuturnya.
Di sisi lain, Trump juga bergerak untuk semakin melemahkan posisi kepemimpinan Palestina. Sebelum mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, Trump menutup kantor Organisasi Pembebasan Palestina di Washington DC.
Pemerintahannya juga memangkas dana sebesar US$ 200 juta untuk Otoritas Palestina, badan pemerintahan untuk Tepi Barat yang diduduki.
"Selama beberapa bulan terakhir, ia telah melontarkan beberapa kritik terbatas terhadap upaya perang Israel di Gaza, dengan mengatakan bahwa Israel 'kalah dalam perang humas'. Namun, ia terus menempatkan dirinya sebagai sahabat yang lebih baik bagi Israel daripada Biden atau Harris," tambah Farooq.
Di luar sikap soal Israel-Palestina, Trump di masa kepemimpinannya juga telah mengambil sikap yang sangat keras terhadap Iran. Trump menepati janji kampanye dan keluar dari kesepakatan nuklir Iran sesaat setelah terpilih menjadi presiden.
Penerapan kembali sanksi tersebut membuat ekonomi Iran terpuruk. Meskipun ada upaya yang dilakukan oleh pemerintahan Biden untuk memulai kembali perundingan nuklir, kesepakatan tersebut tetap gagal hingga hari ini.
11. Perang Dunia 3 (PD3)?
Pemerintahan Trump sepertinya tak menginginkan adanya perang dunia 3 (PD3). Kenapa?
Trump sendiri terus mengobarkan komitmen untuk menghentikan perang Rusia-Ukraina serta Israel di Gaza. Terkait Rusia, Trump sempat berencana melakukan penghentian pengiriman bantuan senjata kepada Kyiv bila negara itu tidak melakukan perundingan damai dengan Moskow.
"AS pada saat yang sama akan memperingatkan Moskow bahwa penolakan untuk bernegosiasi akan mengakibatkan peningkatan dukungan AS terhadap Ukraina," kata dua penasehat Trump, Letnan Jenderal Keith Kellogg dan Fred Fleitz, Juni lalu.
Berdasarkan rencana yang dibuat oleh Kellogg dan Fleitz, akan ada gencatan senjata berdasarkan garis pertempuran yang ada selama perundingan perdamaian. Fleitz kemudian menjelaskan bahwa Rusia juga akan dibujuk dengan janji penundaan keanggotaan NATO di Ukraina untuk jangka waktu yang lama.
Namun, hal ini bukan berarti bahwa Ukraina perlu menyerahkan wilayahnya kepada Rusia. Akan tetapi Kyiv harus paham bahwa dengan posisi saat ini akan sulit bagi negara itu untuk mendapatkan kembali kendali efektif atas seluruh wilayahnya.
Di sisi lain, terkait Israel dan Gaza, Trump pernah menegaskan bahwa Israel harus menyelesaikan masalah dalam perangnya melawan milisi Gaza, Hamas. Menurutnya, serangan Hamas pada tanggal 7 Oktober ke Israel merupakan invasi yang belum pernah ia bayangkan sebelumnya.
"Anda harus menyelesaikan masalahnya. Anda mengalami invasi mengerikan yang tidak akan pernah terjadi jika saya menjadi presiden," ujarnya dalam sebuah pernyataan kepada Fox yang dikutip NBC.
Ketika ditanya apakah ia mendukung gencatan senjata di Gaza, Trump menolak melontarkan pandangan terkait isu tersebut. Namun menurutnya, presiden AS saat ini, Joe Biden, terlalu bersikap lunak.
"Itu seharusnya tidak terjadi. Demikian pula, Rusia tidak akan pernah menyerang Ukraina," tambahnya.