
Pak Prabowo Bahaya! Jutaan Gen Z Nganggur Jadi Beban Ekonomi RI

Jakarta, CNBC Indonesia - Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat atau LPEM FEB UI mengingatkan pemerintah besarnya dampak ekonomi jika membiarkan masalah jutaan Gen Z menjadi pengangguran. Gen Z merupakan penduduk usia produktif yang lahir pada periode 1997-2012.
"Fenomena pengangguran di kalangan Gen Z bukanlah masalah yang sederhana dan memiliki banyak lapisan," dikutip dari Labor Market Brief LPEM FEB UI yang disusun peneliti FEB UI Muhammad Hanri dan Nia Kurnia Sholihah, dikutip Jumat (10/10/2024).
Dikutip dari data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) per Februari 2024, sebetulnya jumlah pengangguran di kategori Gen Z dengan usia 15-24 tahun di Indonesia sudah mencapai 3,6 juta orang atau 50,29% dari total pengangguran saat itu sebanyak 7,2 juta orang.
Bila ditambah dengan mereka yang tergolong bukan angkatan kerja tetapi tidak sedang sekolah atau mengikuti pelatihan atau Not in Employment, Education or Training (NEET), jumlah pengangguran golongan Gen Z meledak mencapai 9,89 juta orang.
Meski begitu, LPEM FEB UI memilih untuk memotret jumlah pengangguran Gen Z berdasarkan data Sakernas 2023. Saat itu, jumlah pengangguran kalangan Gen Z sudah sebanyak 4,84 juta orang secara total, dan populasi Gen Z yang tidak masuk kategori NEET sebanyak 2,15 juta orang, sehingga totalnya 6,99 juta pengangguran Gen Z.
Menurut tim peneliti LPEM FEB UI, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Gen Z yang mencapai 9,37%, atau sekitar 4,84 juta orang dari total populasi usia kerja Gen Z menunjukkan bahwa hampir 1 dari 10 Gen Z yang termasuk dalam angkatan kerja saat ini sedang menganggur. Persentase ini lebih tinggi dibandingkan tingkat pengangguran nasional yang biasanya tercatat dalam kisaran 5-7%.
Tim peneliti LPEM FEB UI, jumlah Gen Z yang menganggur sebanyak 4,84 juta orang itu sebetulnya sudah menggambarkan adanya masalah dalam sektor tenaga kerja di Indonesia. Sebab, selain sedang dalam usia produktif, Gen Z terkenal dengan istilah digital natives karena tumbuh bersamaan dengan perkembangan teknologi.
"Tingginya TPT di kalangan Gen Z ini dapat mencerminkan berbagai faktor, seperti kesenjangan keterampilan dengan kebutuhan industri, minimnya pengalaman kerja, atau tantangan dalam menemukan pekerjaan yang sesuai dengan aspirasi dan latar belakang pendidikan mereka," tulis tim peneliti LPEM FEB UI.
Masalah lain ialah rata-rata usia pengangguran Gen Z untuk laki-laki dan perempuan yang masing-masing 20,84 tahun dan 20,88. Menurut tim peneliti LPEM FEB UI, hal ini menunjukkan pengangguran di kalangan Gen Z cenderung terjadi pada usia awal memasuki pasar kerja, karena sulitnya transisi dari pendidikan yang dipelajari untuk masuk ke dunia kerja.
"Banyak dari mereka mungkin masih mencari pengalaman pertama, pekerjaan yang sesuai dengan keahlian mereka, atau sedang mengalami kesenjangan antara keterampilan yang dimiliki dan yang dibutuhkan oleh pasar kerja saat ini," dikutip dari kajian LPEM FEB UI.
Data Sakernas 2023, juga mengungkapkan pengangguran terbesar di kalangan Gen Z berasal dari lulusan SMA/MA/SMK/Paket C, yaitu 36,17%, diikuti oleh lulusan SMK/MAK sebesar 29,60%. Proporsi yang besar ini kata tim peneliti LPEM FEB UI menunjukkan lulusan tingkat menengah menghadapi tantangan paling signifikan dalam memasuki dunia kerja.
"Hal ini konsisten dengan laporan Badan Pusat Statistik (BPS) dan berbagai studi yang menyebutkan bahwa lulusan SMA/SMK sering kali tidak memiliki keterampilan yang sesuai dengan permintaan industri," tulis tim peneliti LPEM FEB UI.
Mereka menganggap, banyaknya Gen Z yang merupakan lulusan SMK disebabkan jurusan yang diambil tidak sejalan dengan kebutuhan pasar atau kurangnya pengalaman praktis. Misalnya, kurikulum SMK yang lambat dalam beradaptasi dengan teknologi terkini seringkali membuat lulusan tidak memiliki keterampilan yang relevan.
Selain itu, 11,64% penganggur Gen Z adalah lulusan perguruan tinggi. Meski secara teori memiliki pendidikan lebih tinggi, Muhammad Hanri dan Nia Kurnia Sholihah menganggap lulusan ini sering kali menghadapi persaingan ketat di pasar kerja, ekspektasi gaji yang tinggi, dan kurangnya pengalaman praktis atau keterampilan yang dibutuhkan.
Selanjutnya, pengangguran dari jenjang pendidikan SD/MI/SDLB/Paket A (7,15%) dan SMP/MTs/SMPLB/Paket B (13,79%) menunjukkan Gen Z dengan pendidikan lebih rendah juga memiliki masalah dalam mengakses pekerjaan yang layak. Pendidikan yang terbatas sering kali membuat mereka terjebak dalam pekerjaan informal dengan keterbatasan peluang peningkatan karir.
Akibat berbagai permasalahan itu, Tim Peneliti LPEM FEB UI mengingatkan, data Sakernas juga menunjukkan 1,47% populasi gen Z saat ini (atau sekitar 600 ribu orang) berada dalam situasi "putus asa" terhadap prospek kerja, artinya mereka tidak aktif mencari pekerjaan karena merasa kecil kemungkinan mendapatkan pekerjaan.
"Alasan yang sering muncul termasuk kurangnya pengalaman kerja, ketidaksesuaian keterampilan dengan kebutuhan pasar, serta adanya stigma usia yang dianggap terlalu muda atau terlalu tua oleh calon pemberi kerja. Kondisi ini mencerminkan adanya hambatan struktural dan persepsi negatif yang membuat sebagian orang merasa sulit untuk memasuki dunia kerja," tulis mereka.
Oleh sebab itu, LPEM FEB UI mengingatkan pemerintah masalah pengangguran dari golongan Gen Z ini perlu menjadi perhatian. Salah satu solusinya ialah dengan menggiatkan program akses keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan industri secara lebih efektif.
"Pendekatan yang berfokus pada pemerataan kesempatan kerja, peningkatan keterampilan, dan pembukaan akses ke sektor-sektor baru sangat penting untuk memastikan bahwa potensi Gen Z dapat diberdayakan secara optimal di seluruh wilayah Indonesia," kata Tim Peneliti LPEM FEB UI.
(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ada 9,9 Juta Pengangguran Gen Z, Target Ekonomi 8% Prabowo Apa Kabar?
