Internasional

Satu Anggota BRICS 'Membelot' ke AS, Kenapa?

Thea Fathanah Arbar, CNBC Indonesia
Kamis, 10/10/2024 11:00 WIB
Foto: Perdana Menteri India Narendra Modi (kiri) dan Presiden Rusia Vladimir Putin bersiap untuk berjabat tangan sebelum pembicaraan mereka selama KTT BRICS di Ufa, Rusia. (AP Photo/Ivan Sekretarev/File Foto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Saat negara-negara anggota BRICS melakukan dedolarisasi, India malah enggan menargetkan dolar Amerika Serikat (AS) sebagai salah satu kebijakan ekonomi negaranya. Hal ini disampaikan oleh Menteri Luar Negeri S. Jaishankar saat interaksi di Carnegie Endowment for International Peace, sebuah lembaga pemikir Amerika di Washington.

Jaishankar mengatakan meskipun India mengejar kepentingan perdagangannya, menghindari penggunaan dolar AS bukanlah bagian dari kebijakan ekonomi India.

Ia mencatat bahwa kebijakan AS sering kali mempersulit perdagangan dengan negara-negara tertentu, dan India mencari "solusi" tanpa bermaksud untuk menjauh dari penggunaan dolar, tidak seperti beberapa negara lain. Namun, menteri tersebut menambahkan bahwa dunia multipolar pada akhirnya akan tercermin dalam "mata uang dan transaksi ekonomi".


"Kami tidak pernah secara aktif menargetkan dolar. Itu bukan bagian dari kebijakan ekonomi, politik, atau strategis kami. Beberapa negara lain mungkin telah melakukannya. Yang akan saya katakan adalah bahwa kami memiliki kekhawatiran alami," kata Jaishankar, seperti dikutip dari The Indian Express, Kamis (10/10/2024).

"Kami sering memiliki mitra dagang yang kekurangan dolar untuk transaksi. Jadi, kami harus memutuskan apakah akan mengabaikan transaksi dengan mereka atau menemukan penyelesaian alternatif yang berhasil. Tidak ada niat jahat terhadap dolar," tambahnya.

Pernyataan menteri itu muncul pada saat beberapa mitra dagang dekat India, seperti Bangladesh, Sri Lanka, dan Nepal, menghadapi kekurangan dolar yang parah. Situasi ini telah membatasi kemampuan mereka untuk mengimpor komoditas penting. Baik Bangladesh maupun Sri Lanka mengalami keresahan yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir karena nilai dolar AS melonjak tajam.

Selain itu, sanksi AS terhadap Iran telah menimbulkan masalah bagi eksportir teh dan beras India yang pernah menikmati pangsa pasar yang besar di pasar Iran. Impor minyak India dari Rusia juga telah menimbulkan reaksi tajam dari Barat meskipun menjadi salah satu importir utama minyak olahan dari India.

Sementara itu, calon presiden AS Donald Trump bulan lalu mengatakan, jika terpilih, ia akan mengenakan tarif 100 persen pada impor dari negara-negara yang menghindari dolar. Bank Sentral India telah mengeluarkan mekanisme penyelesaian rupee untuk perdagangan pada tahun 2022.

"Kami berbicara tentang multipolaritas. Jelas, semua ini juga akan tercermin dalam mata uang dan transaksi ekonomi," tambah Jaishankar.

Hal ini terjadi karena Rusia dan China secara aktif mengurangi penggunaan dolar dalam perdagangan bilateral setelah AS mengecualikan Moskow dari sistem pembayaran internasional 'SWIFT' menyusul invasi Ukraina.

Pemerintah Rusia telah menyatakan tahun lalu bahwa perdagangan antara Rusia dan China yang dilakukan dalam rubel dan yuan telah mencapai 95%. Khususnya, perdagangan bilateral antara kedua negara selama tahun keuangan terakhir melampaui US$200 miliar.


(luc/luc)
Saksikan video di bawah ini:

Video: AS-Rusia Pimpin Nuklir Dunia, Asia Mulai Ngebut