
Kantor Moeldoko Bongkar Borok Manufaktur RI Loyo, Pengusaha Buka Suara

Jakarta, CNBC Indonesia - Deputi III Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Edy Priyono mengungkapkan, seperti yang sering disampaikan para akademisi, pengamat, maupun kritikus, Indonesia memang sudah mengalami deindustrialisasi.
Yaitu, kondisi di mana sektor industri pengolahan (manufaktur) tak lagi menjadi pendorong utama ekonomi RI. Disertai penurunan kontribusinya terhadap PDB nasional.
Edy memaparkan, deindustrialsiasi dini sebenarnya sudah terjadi sejak tahun 2001. Hal itu disampaikannya dalam Seminar Nasional - Evaluasi 1 Dekade Pemerintahan Jokowi yang ditayangkan kanal Youtube INDEF, Kamis (3/10/2024).
Disebutkan, selama 10 tahun pemerintahan, pertumbuhan industri manufaktur selalu di bawah pertumbuhan ekonomi. Sehingga, kontribusi manufaktur terus menurun hingga pada tahun 2023 hanya 18,67%.
"Memang ada, gejala deindustrialisasi dini," katanya, dikutip Selasa (8/10/2024).
Hal itu pun dibenarkan oleh pengusaha tekstil yang juga Ketua Umum Gabungan Pengusaha Ekspor Impor (GPEI) Benny Soetrisno.
"Betul," kata Benny kepada CNBC Indonesia.
Hal itu, ujarnya, dipicu oleh banyaknya pabrik-pabrik investasi lama yang tutup.
"Penyebabnya banyak. Walaupun ada investasi baru namun investasi lama yang pekerjanya lebih banyak dibanding investasi baru, banyak yang tutup," jelas Benny.
Terpisah, Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengatakan hal senada.
"Betul (telah terjadi deindustrialisasi dini). Saat ini adalah deindustrialisasi tahap 3," kata Redma.
Kondisi serupa pernah diungkapkan Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) Ristadi.
Menurut Ristadi, banyak pabrik tekstil di dalam negeri yang sudah tutup. Data KSPN, sejak awal tahun 2024 sudah ada 7 pabrik tekstil yang tutup hingga awal September 2024.
Menurutnya, kondisi sebenarnya yang dialami industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional saat ini masih jauh lebih buruk dibanding yang terungkap ke media.
"Terutama yang local oriented," katanya.
"Kalau yang ekspor masih mending. Banyak yang tutup tapi ada juga yang baru (perusahaan/ pabrik baru). Walau jumlahnya lebih banyak yang tutup atau efisiensi-PHK (dibanding munculnya pabrik baru)," ungkap Ristadi.
Transisi Tak Sempurna
Sementara itu, mengutip data yang dipaparkan Edy Priyono, kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB nasional selalu jauh di bawah kontribusi sektor jasa. Demikian data sejak tahun 1983 hingga 2023.
Tahun 1983-1989, sumbangan manufaktur di bawah sektor pertanian. Kemudian, mulai tahun 1991 kontribusi sektor manufaktur terus naik melampaui sektor pertanian, hingga saat ini.
Puncak kontribusi manufaktur terhadap PDB nasional terjadi di tahun 2001. Sejak saat itu, terus menurun, meski masih di atas pertanian.
"Secara alamiah, proses transformasi perekonomian itu tadinya didominasi pertanian berganti sektor industri, kemudian tahap akhir sketor jasa. Biasanya, ketika dominasi sektor jasa terjadi, industrinya stabil. Tapi di kita, industrinya justru menurun. Sehingga kontribusinya terhadap PDB semakin turun," ujar Edy.
Dia mengatakan, proses transformasi dari industri ke jasa terjadi ketika industri belum mencapai level mature.
"Akibatnya, industri kita sudah nggak kompetitif lagi. Sementara sektor jasa berkembang, namun jasa ini boleh dikatakan yang tidak menambah kesejahteraan. Ini menjadi tantangan tersendiri," tukas Edy.
"Apalagi PMI Manufaktur kita belakangan ini selalu di zona kontraktif, di bawah 50. Jadi, kita punya masalah di sektor industri," cetusnya.
Pekerja Informal Meledak
Kondisi ini, lanjut dia, juga terkait dengan situasi ketenagakerjaan nasional.
Ironisnya, kata dia, data pengangguran yang baik-baik saja tak mencerminkan kondisi sebenarnya. Padahal, saat ini sekitar 60% pekerja di Indonesia adalah pekerja informal. Yaitu yang berusaha sendiri, pekerja tidak tetap, pekerja keluarga tidak dibayar, dan pekerja lepas. Dengan pendapatan terbatas, hanya sekitar Rp1,7 juta per bulan. Meski dia mengakui ada juga pekerja informal yang sejahtera.
"Terlalu besar, 60% pekerja kita adalah pekerja informal. Dan ini memang masalah," ucapnya.
Dalam catatannya, serapan tenaga kerja di sektor informal terus bertambah dan mendominasi.
Pada periode tahun 2009-2014, serapan tenaga kerja di sektor formal mencapai 15,26 juta orang. Namun pada periode tahun 2019-2023 kondisinya adalah, pekerja formal hanya 3,66 juta orang dan pekerja informal 12,18 juta orang.
Tahun 2015, porsi pekerja informal adalah 57,8% dan formal sebanyak 42,2%.
Tahun 2023, porsi pekerja formal susut jadi 40,9%, sedangkan informal naik jadi 59,1%. Data tahun 2023 adalah per Agustus.
"Lapangan kerja yang tercipta setiap tahun ahnya sekitar 2 juta. Jumlah angkatan kerja baru rata-rata setiap tahun ada 2,5 juta pencari kerja baru. Jadi, kalau tidak ada lapangan kerja di atas itu, akan jadi masalah," pungkas Edy.
(dce/dce)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Video: Katanya Ekonomi Relatif Stabil, Kok Masih Banyak PHK?
