Internasional

Anak-Anak di Korea Selatan Ketakutan, Predator Seks Online Berkeliaran

Emir Yanwardhana, CNBC Indonesia
Sabtu, 31/08/2024 16:45 WIB
Foto: Ilustrasi Predator Sex. (Dok. Freepik)

Jakarta, CNBC Indonesia - Kejahatan seksual menggunakan teknologi digital deepfake di Korea Selatan tengah marak. Dan, hampir 6 dari 10 korban kejahatan seksual deepfake yang diselidiki Kepolisian di negara itu adalah anak di bawah umur.

Dari data terbaru yang dikeluarkan Badan Kepolisian Nasional yang diserahkan ke perwakilan Yang Boo-nam dari Partai Demokrat, terdapat 527 kasus kejahatan yang dilaporkan ke polisi antara tahun 2021 - 2023, dan 315 korban atau 59,8% diidentifikasi sebagai remaja. Demikian melansir The Korean Herald, Sabtu (31/8/2024).

Proporsi itu melebihi kelompok umur lainnya, yakni kelompok usia 20an, sebesar 32,1% diikuti kelompok usia 30an sebesar 5,3% dan usia 40an sebesar 1,1%.


Deepfake mengacu pada penggunaan teknologi digital, khususnya kecerdasan buatan, untuk menghasilkan foto, video, atau file audio yang dimanipulasi. Teknologi itu sering digunakan untuk membuat konten berbahaya dan eksplisit secara seksual yang didistribusikan secara online tanpa persetujuan dari individu yang terlibat.

Jumlah korban di bawah umur melonjak dari 53 pada tahun 2021 menjadi 81 pada tahun 2022, dan 181 pada tahun 2023, menandai peningkatan 3 - 4 kali lipat dalam dua tahun.

Yang mengejutkan, banyak pelakunya juga masih di bawah umur. Jumlahnya semakin bertambah seiring dengan semakin mudahnya akses terhadap teknologi deepfake.

Jika dilihat dari seluruh tersangka yang didakwa pembuat video palsu ini paling banyak dilakukan oleh usia remaja. Jumlahnya, 65,4% pada tahun 2021, dan terus meningkat menjadi 61,2% pada tahun 2022, dan 75,8% pada tahun 2023. Sedangkan pada tahun ini mencapai 73,6% dari bulan Januari hingga Juli.

"Mengingat sebagian besar korban deepfake adalah remaja, kita perlu mengembangkan kebijakan yang efektif," kata Yang Boo-Nam.

Yang menjelaskan kebijakan yang dimaksud terdapat kebutuhan yang mendesak untuk membentuk Undang-Undang yang mendukung penyelidikan, dan hukuman yang lebih ketat. Mengingat tingkat penangkapan yang rendah dibandingkan jumlah insiden.

Seorang siswi sekolah tingkat menengah, Song (17), yang tinggal di Provinsi Gyeonggi, sempat menjadi korban. Seperti halnya gadis seumurannya, tentu memiliki media sosial yang aktif dengan memposting foto dan video pendek dirinya bersama teman-temannya. Namun pada suatu hari ia menerima pesan anonim di Instagram yang masih menghantuinya sampai hari ini.

"Saya melihat ponsel saya sepulang sekolah ketika saya melihat pesan dikirim melalui akun tak dikenal," kata Song kepada The Korea Herald.

Pesannya berbunyi, 'Apakah teman dan orang tuamu tahu tentang sisi kehidupanmu yang ini?' dengan lampiran tiga foto."

Ketika Song membuka pesan tersebut, dia terkejut menemukan foto dirinya yang eksplisit secara seksual. Tapi foto-foto ini sebenarnya bukan foto dirinya. Itu adalah deepfake foto yang diubah secara digital hampir mustahil dibedakan dari gambar aslinya.

"Saya sangat terkejut dan ketakutan saat pertama kali melihat foto-foto itu. Meskipun aku tahu itu palsu, itu adalah gambaran diriku, tapi itu tampak begitu nyata," kata Song.

"Saya ingin percaya bahwa itu hanyalah mimpi buruk yang pada akhirnya membuat saya terbangun."

Namun pesan itu berlanjut mempertanyakan apakah Song benar-benar orang dibalik foto seksual itu. Bahkan banyak pesan yang menuntut Song untuk menghibur mereka. Saat itu Song juga terus mencoba bahwa itu bukan dirinya, bahkan mencoba meminta pertolongan terkait hal ini.

"Tetapi saya menanggapi semua pesan mereka sepertinya hanya membuat mereka bergairah. Pesan-pesan tersebut terus berdatangan, dan tuntutan mereka semakin memburuk setiap hari," katanya.

Ketakutan Semakin Besar

Song adalah salah satu dari sekian banyak korban yang jumlahnya terus meningkat. Banyak di antaranya adalah anak di bawah umur.

Menurut Women's Human Rights Institute of Korea, sebanyak 2.154 orang mencari bantuan di Pusat Advokasi Korban Pelecehan Seksual Online di lembaga tersebut karena pornografi deep fake sejak April 2018 hingga Minggu.

Dari total 781 orang yang mencari bantuan di Pusat Advokasi Korban Pelecehan Seksual Online karena pornografi deepfake tahun ini, 36,9 persen, atau 288 orang, adalah anak di bawah umur.

Jumlah anak di bawah umur yang mencari bantuan karena deepfake juga mengalami peningkatan eksponensial dalam beberapa tahun terakhir, dari 64 pada tahun 2022 menjadi 288 pada tahun ini pada hari Minggu.

Karena ketakutan akan kejahatan yang memanfaatkan teknologi kecerdasan buatan semakin meningkat, Kementerian Pendidikan pada hari Rabu lalu, mengatakan bahwa mereka akan mengambil sikap tegas terhadap pemberantasan kejahatan pornografi palsu di sekolah.

Hukuman bagi pelaku dapat mencakup pengusiran, yang merupakan hukuman tertinggi dari sistem hukuman sembilan tingkat yang ditetapkan kementerian bagi siswa sekolah menengah atas yang terlibat dalam kekerasan di sekolah.

Sedangkan bagi pelaku yang duduk di bangku sekolah dasar dan menengah, pemindahan merupakan hukuman maksimal karena keduanya dianggap wajib belajar.

Hingga Selasa, total 196 laporan kejahatan seks deepfake dilaporkan ke kantor pendidikan nasional, dan 186 di antaranya melibatkan pelajar. Korban pelajar sebanyak 186 orang tersebut terdiri dari delapan siswa SD, 100 siswa SMP, dan 78 siswa SMA. Dari 196 orang tersebut, Kementerian Pendidikan menyatakan 179 orang telah dirujuk ke polisi.

Kementerian juga memutuskan untuk membentuk satuan tugas darurat untuk menanggapi kejahatan seks itu.

Satgas baru ini akan menyelidiki kejahatan yang melibatkan deepfake setiap minggu, menangani laporan yang disampaikan oleh para korban, memberikan dukungan psikologis kepada para korban, memberikan pendidikan dan meningkatkan kesadaran akan kejahatan tersebut di sekolah, serta memperkuat etika dan akuntabilitas digital.


(dce)
Saksikan video di bawah ini:

Video: 100 Tahun Lagi Penduduk Korsel Diramal Tinggal 7,53 Juta Jiwa