Industri Kerajinan Moncer saat Covid, Sekarang Nasibnya Begini
Jakarta, CNBC Indonesia - Kerajinan tangan bisa menjadi harapan bagi industri kecil menengah aneka (IKMA) untuk tetap tumbuh saat ini. Direktur Jenderal Kementerian Perindustrian IKMA Reni Yanita mengungkapkan bahwa industri kriya sempat mengalami situasi positif pada saat Pandemic Covid-19 silam.
"Kalau lihat dari kerajinannya sendiri memang waktu COVID kemarin lumayan baik, karena memang semua orang kerja di rumah jadi perlu lah home decor gitu ya, perlu itu. Nah untuk kerajinan ini tumbuh," kata Reni usai Pemberian dan Penghargaan Asta Kriya Nusantara di Kemenperin, Selasa (20/6/2024).
Namun saat ini kondisinya berbeda dimana tren bekerja dari rumah dengan hobi baru sudah berkurang. Di sisi lain, daya beli masyarakat tengah anjlok bahkan ke depan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) bakal naik menjadi 12%, kemudian iuran BPJS Kesehatan dan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi juga berpotensi mengalami kenaikan.
Sedangkan industri kriya tidak masuk ke dalam bahan pokok penting (bapokting) atau masuk ke segmen tersier. Namun, Reni menilai tetap ada potensi industri ini tetap tumbuh dengan menampilkan keunikan yang ada.
"Kalau untuk kerajinan sih kita semangatnya karena kembali ke alam, kita juga potensinya mulai banyak, mulai digiatkan lah. Kalau dulu mungkin pertanamannya belum dibudidaya, sekarang sudah mulai concern," ujarnya.
Untuk menarik minat pengrajin untuk giat menekuni industri ini, Ditjen IKMA dan Dewan Kerajinan Nasional (Dekranas) mengadakan kompetisi Asta Kriya Nusantara 2024 dengan tema Anyaman Hantaran.
Wakil Ketua Harian Dekranas, Loemongga Agus Gumiwang menyebut di balik kekayaan sumber daya kerajinan, budaya dan tradisi, Indonesia juga menghadapi tantangan besar dengan adanya pasar global dan digitalisasi.
"Era digitalisasi dan globalisasi menuntut kita untuk terus berinovasi, tidak hanya dalam hal desain tetapi juga dalam proses produksi dan pemasaran. Ini adalah tantangan yang harus kita jawab bersama, dengan sinergi antara Dekranas, pemerintah, industri, akademisi, dan tentu saja, para perajin itu sendiri," kata Loemongga.
(fys/wur)