Duka Pekerja RI: 70.000-an Korban PHK, Miskin-Terjerat Judi Online

Damiana, CNBC Indonesia
13 August 2024 15:20
Suasana kondisi ribuan alat mesin jahit yang ditutup kain dan tidakk terpakai di kawasan pabrik garmen, Kabupaten, Bogor, Kamis, (13/6/2024). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Suasana kondisi ribuan alat mesin jahit yang ditutup kain dan tidakk terpakai di kawasan pabrik garmen, Kabupaten, Bogor, Kamis, (13/6/2024). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mencatat jumlah pekerja yang korban pemutusan hubungan kerja pada periode Januari-Juni 2024 mencapai 32.064 orang. Angka tersebut melonjak 21,4% dari periode sama tahun lalu yang tercatat sebanyak 26.400 orang.

Namun, data itu pun diduga lebih kecil dari kondisi sebenarnya. 

Aktivis Buruh Nasional Mirah Sumirat mengatakan, jumlah buruh di Indonesia terus menurut akibat gelombang PHK massa yang terus berlanjut. Menurutnya, jumlah korban PHK bisa dua kali lipat lebih besar dari data pemerintah yang dirilis Kemnaker tersebut.

"Data yang sesungguhnya bisa 2 kali lebih besar dari jumlah tersebut. Kenapa ada perbedaan data? Karena banyak perusahaan tidak melaporkan jumlah pekerja yang di PHK kepada Dinas Tenaga Kerja setempat. Biasanya sudah ada kesepakatan antara pengusaha dan pekerja di internal, sehingga tidak ada pelaporan ke Dinas Tenaga Kerja," katanya dalam keterangan resmi, dikutip Selasa (13/8/2024).

"Dan banyak juga pengusaha yang tidak mendaftarkan pekerjanya ke BPJS Ketenagakerjaan. Hal ini berpengaruh dengan data yang digunakan oleh pihak Kementerian. Karena pihak Kementerian Ketenagakerjaan selalu menggunakan data dari BPJS Ketenagakerjaan berdasarkan klaim dari buruh terhadap Jaminan Hari Tua ( JHT ) yang ada di BPJS Ketenagakerjaan," ungkap Mirah. 

Dia memaparkan, buruh yang jadi korban PHK kini sebagian beralih menjadi pelaku wirausaha skala kecil. Misalnya menjadi pedagang makanan kaki lima. Sebagian lagi, kata dia, beralih menjadi driver online, kerja serabutan, dan pekerjaan informal lainnya.

"Data dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pekerja sektor informal di Indonesia bertambah dalam 5 tahun terakhir. Pada Februari 2019 jumlahnya masih 74,09 juta orang (57.27 % dari total penduduk Indonesia yang bekerja). Pada Februari 2024 naik menjadi 84,13 juta orang ( 59.17 % dari total penduduk bekerja)," paparnya.

"Artinya mereka memiliki pendapatan tidak tetap dan cenderung bertambah miskin, sulit untuk memenuhi kebutuhan hidup layak," sebut Mirah yang juga Presiden Women Commitee Asia Pasifik di UNI Apro. UNI Apro adalah federasi pekerja jasa di kawasan Asia Pasifik dari UNI Global Union Asia Pacific Regional Organisation (Apro).

Kondisi ini, lanjutnya, menambah beban hidup masyarakat, terutama pekerja atau buruh. Akibatnya, daya beli masyarakat terseret dan melemah.

Mirah pun memaparkan sederet permasalahan yang dihadapi pekerja dan masyarakat kelas menengah-bawah di Tanah Air:

Pertama, kata dia, kebijakan upah murah sejak tahun 2015 dengan adanya PP no.78/2015 tentang pengupahan.

"Hal ini telah mereduksi fungsi dewan pengupahan dan mereduksi komponen perhitungan upah dalam hal ini menghilangkan Komponen Hidup Layak ( KHL). Lalu disusul dengan di keluarkan UU Omnibus Law Cipta Kerja yang semakin menegaskan PP 78/2015 terkait upah murah," tukasnya.

"Kebijakan politik upah murah ini terbukti membuat kesenjangan antara kaya dan miskin semakin melebar, ini bisa berakibat tidak baik untuk kita berbangsa dan beragam," ujar Mirah.

Kedua, lanjut Mirah, kenaikan harga kebutuhan pangan dan kebutuhan dasar (sembako). Hal ini berdampak signifikan terhadap daya beli masyarakat yang semakin rendah.

"Melambungnya harga pangan dan kebutuhan dasar yang sejak tahun 2021 naik rata -rata sekitar 20%, dan sampai saat ini tetap tidak bisa terkendali," sebutnya.

Ketiga, tambahnya, munculnya Kebijakan atau regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah yang tidak memihak kepada rakyat/buruh semakin memperburuk kondisi ekonomi buruh dan rakyat. Contohnya, tuturnya,  Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8/2024 tentang Perubahan Ketiga atas Permendag Nomor 36/2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor, UU Omnibus Law Cipta Kerja, UU Omnibus Law Kesehatan, UU Omnisbus Law Perbankan, Tambang, Agraria dan sebagainya.

"Kebijakan tersebut dalam proses Pembuatan nya jarang sekali melibatkan publik, stakeholder atau pihak yang terkait sehingga hasilnya tidak berpihak terhadap rakyat," kata Mirah. 

Permasalahan keempat, sebut Mirah, bergesernya Revolusi Industri 4.0 bahkan sudah menjadi 5.0 tanpa diantisipasi oleh pemerintah. Menurutnya, ketika proses peralihan teknologi tidak ada perlindungan bagi buruh dari dampak buruknya terhadap keberlangsungan pekerja, sehingga telah memberikan andil semakin terpuruknya nasib buruh.

"Banyak tenaga manusia diganti dengan mesin (otomatisasi) yang menambah penyebab pekerja kehilangan pekerjaan. Kalaupun ada yang bekerja status mereka bukan sebagai karyawan tetap, tapi sebagai pekerja kontrak, harian lepas. Yang setiap saat bisa di putus kontraknya tanpa mendapat pesangon," papar Mirah.

Kelima, lanjutnya, terkait kebijakan pajak. 

"Keputusan menaikkan pajak kepada seluruh rakyat, di satu sisi pemerintah terlihat tidak ada upaya yang keras untuk menarik pajak dari para wajib pajak yang menunggak pajak. Coba dicek berapa tunggakan pajak dari kelompok orang-orang kaya yang punya wajib pajak kepada negara?" tukasnya.

"Keputusan menaikkan pajak ini berdampak membuat harga barang ikut naik. Seharusnya pajak diturunkan sehingga bisa membantu menurunkan harga, dan pemerintah mencari sumber dana lain untuk memenuhi kebutuhan belanja negara dan membayar utang pemerintah dan memberantas korupsi," ucap Mirah. 

Biang kerok keenam yang menurut Mirah menekan hidup pekerja dan daya beli warga RI adalah pencabutan subsidi yang menyasar rakyat kecil. Hal ini, ujarnya, makin memperburuk daya beli.

"Perlahan tapi pasti pemerintah mulai menghilangkan subsidi listrik 450 va, rencana pembatasan BBM, dan ada rencana pembatasan pembelian tabung gas melon ukuran 3 kg," ujarnya.

Dia pun meminta agar subsidi listrik, LPG, BBM untuk buruh dan rakyat kelompok menengah ke bawah agar tetap dipertahankan.

Buruh Pilih Jalan Pintas Hingga Terjerat Judi Online

Mirah mengatakan, sebagian warga kelas menengah ke bawah sulit untuk menambah penghasilan karena hanya mengandalkan upah yang tidak kunjung memadai untuk hidup layak. Akhirnya mengambil jalan pintas berharap mendapatkan penghasilan tambahan secara instan/cepat dengan cara main judi online, pinjaman online. 

"Akibatnya banyak yang terjerat, tidak bisa mengembalikan sehingga banyak kasus bunuh diri akibat judi online dan pinjaman online, produktivitasnya menurun, meningkatnya angka perceraian, dan potensi ekonomi negara yang hilang ratusan triliun rupiah," ujar Mirah.

"Permasalahan tersebut jangan dibiarkan berlarut larut, harus segera dicarikan solusinya. Kami berharap di pemerintahan baru, isu pekerja/ buruh dan rakyat bisa diselesaikan untuk mendapatkan kehidupan sejahtera dan layak sesuai dengan amanat Konstitusi UUD 1945 bisa terwujud," pungkasnya.

Banten Foto: Infografis/ Banten "Juara" Pengangguran, Banyak Pabrik Pindah-Ribuan Warga di-PHK/ Ilham Restu
Banten "Juara" Pengangguran, Banyak Pabrik Pindah-Ribuan Warga di-PHK

(dce/dce)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Efek Ngeri Gelombang PHK di Indonesia Mulai Terasa di Kantong Warga RI

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular