Efek Deindustrialisasi Era Jokowi: Pekerja Informal Naik-Pajak Seret

Arrijal Rachman, CNBC Indonesia
12 August 2024 13:25
Pekerjaan di 5 Industri Ini Paling Menderita Jika Resesi
Foto: Infografis/ Pekerjaan di 5 Industri Ini Paling Menderita Jika Resesi/ Ilham Restu

Jakarta, CNBC Indonesia - Sejumlah kalangan ekonom di Indonesia menganggap deindustrialisasi dini yang terjadi selama masa pemerintahan Presiden Joko Widodo memiliki implikasi langsung terhadap bengkaknya data pekerja informal hingga merosotnya setoran pajak.

Deindustrialisasi itu terjadi tatkala distribusi industri pengolahan atau manufaktur terus merosot terhadap produk domestik bruto (PDB). Pada 2014, berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS) angkanya masih 21,02%. Pada 2019 tersisa 19,7%, dan pada 2023 kian merosot menjadi 18,67%.

"Indonesia mengalami deindustrialisasi dini, artinya kontribusi manufaktur terhadap PDB turun saat PDB produknya masih rendah," kata Ekonom senior dari Universitas Paramadina Wijayanto Samirin saat ditemui CNBC Indonesia, Jakarta, dikutip (12/8/2024).

Deindustrialisasi tersebut menyebabkan lapangan pekerja formal yang harusnya makin banyak tercipta tak terjadi, mengakibatkan masyarakat mau tak mau harus mencari penghidupan dari pekerjaan informal, yang tak memperoleh pendapatan tetap dan keamanan pekerjaan atau job security.

Wijayanto mengatakan, berdasarkan data BPS, proporsi pekerja informal pada 2023 mencapai 60,12% dari total penduduk bekerja. Padahal, pada 2019 hanya sebesar 57,27%. Saat periode 2014, data jumlah pekerja informal juga masih sebesar 59,81% dan sisanya adalah pekerja formal.

"Kalau industri enggak tumbuh kan orang pilih aktivitas ekonomi lain. Kalau ada pabrik saya kerja di pabrik, tapi karena enggak ada pabrik saya ke sektor jasa itu, jualan kopi keliling, pedagang asongan," ucap Wijayanto.

Seiring dengan itu, data rasio pajak atau perbandingan penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) juga menjadi stagnan, karena objek pajaknya makin banyak yang tak tersentuh akibat deindustrialisasi. Pada 2023, tax ratio Indonesia hanya 9,6%, sedangkan pada 2014 masih sebesar 11,4%.

"Kenapa tax ratio kita turun terus, kenapa jumlah tenaga kerja sektor formal turun terus, karena deindustrialisasi dini," tegas Wijayanto.

Ekonomi dari Universitas Indonesia Ninasapti Triaswati menambahkan, permasalahan deindustrialisasi ini disebabkan pemerintahan Presiden Jokowi terburu-buru meninggalkan industri padat karya, karena terlalu prematur fokus mengembangkan industri padat modal yang tak signifikan menyerap tenaga kerja.

Padahal, di tengah era bonus demografi, masyarakat produktif sangat butuh lapangan pekerjaan. Namun, nyatanya investasi yang masuk kebanyakan dari industri padat modal, tercermin dari realisasi investasi yang masuk makin tak banyak menyerap tenaga kerja.

Mengutip catatan Asosiasi Pengusaha Indonesia atau Apindo, pada 2013 saat investasi yang masuk hanya sebesar Rp 398,3 triliun, jumlah tenaga kerja yang terserap sebanyak 1.829.950 orang, atau 4.594 orang per triliun. Pada 2014 pun dari realisasi investasi Rp 463 triliun, tenaga kerja yang terserap masih sebanyak 1.430.846 orang atau 3.090 orang per triliun.

Namun, pada 2019, dari realisasi investasi yang masuk ke Indonesia sebesar Rp 809,2 triliun hanya mampu menyerap 1.033.835 pekerja atau 1.277 pekerja per triliun. Sedangkan pada 2023 dari realisasi investasi Rp 1.418,9 triliun hanya menyerap 1.823.543 orang atau 1.285 orang per triliun.

"Jadi saya ingin hati-hati sekali untuk padat modal. Prioritas ini tampaknya harus hati-hati sekali karena betul dia diberi kelonggaran, tetapi jangan sampai kelonggaran itu at the cost dari yang padat karya," ungkap Ninasapti.

"Jadi padat karya yang harusnya diprioritaskan untuk dibangun kembali, dipertahankan, dan negara-negara berkembang, pada umumnya itu memang padat karyanya yang diselamatkan. Termasuk di dalamnya industri berbasis pertanian," tegasnya.

Pemerintah sendiri mengakui bahwa ekonomi Indonesia memang kini telah terserang penyakit deindustrialisasi dini sebelum mampu menjadi negara berpendapatan tinggi. Deputi Bidang Ekonomi Kementerian PPN/Bappenas Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan, penyakit ini dipicu oleh dutch disease atau penyakit belanda.

"Kita terlena dengan biasa yang disebut dutch disease, sehingga kemudian terjadilah deindustrialisasi dini," kata Amalia dalam acara Peluncuran Laporan Perekonomian Indonesia 2023 yang digelar Bank Indonesia di Jakarta, Rabu (31/1/2024).

Wanita yang kini juga menjabat sebagai pelaksana tugas Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) itu mengatakan, penyakit dutch disease mulai menjangkiti Indonesia setelah periode 2002. Sumber penyakitnya ialah Indonesia saat itu menikmati ledakan harga-harga komoditas.

Akibatnya, industri manufaktur tidak berkembang, menyebabkan kontribusi manufaktur terhadap produk domestik bruto (PDB) turun drastis secara konsisten dari saat periode 2002 sebesar 32% menjadi hanya 18,3% pada 2022.

"Artinya kita belum mencapai negara maju tapi sektor industri manufaktur kita kontribusinya ke PDB sudah turun," ucap Amalia yang juga akrab disapa Winny.


(arj/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Video: Indonesia Terancam Deindustrialisasi Dini!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular